Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Manusia Gerobag

9 September 2014   14:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:13 33 2

Pulang kerja. Menunggu jemputan. Kebetulan ada mini market semi resto masa kini yang ngga deket-deket banget sama kantor. Tapi masih masuk akal untuk ditempuh dengan berjalan kaki.

Akhirnya hari ini diputuskan untuk menikmati senja yang hampir habis di mini market tersebut.

Jalan kaki, tersapu angin, menikmati udara sore, beradu pilihan pinggir jalan dengan ratusan sepeda motor dan mobil... Ah lucunya haha.... Ya, kantor saya yang terletak di bilangan Yos Sudarso, Jakarta Utara memang berada di pinggir jalan raya, sehingga taburan debu dan angin memang menjadi satu kesatuan bumbu romantis bagi siapa saja yang berjalan kaki di sore hari.

Pada paruh perjalanan saya berpapasan langsung dengan "keluarga gerobag" yang selama ini hanya saya lihat dari dalam mobil. Setiap sore mereka ada di titik itu. Nampaknya bukan untuk meminta-minta kepada siapa saja yang lewat, tapi hanya sekedar beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan berikutnya. Mungkin mereka lelah setelah seharian mencari peruntungan dengan mengumpulkan barang-barang bekas yang disimpan di gerobagnya itu.

Tapi entahlah apakah benar akan melanjutkan perjalanan, karena hari ini saya jelas melihat langsung isi gerobag yang selama ini menemani mereka. Ruang gerobag tertata rapi, ada bantal kecil nan kusam. Dinding sisi dalamnya dilapisi lembaran kain bekas spanduk suatu acara.

Bisa dipastikan, ini adalah tempat anak-anaknya tidur! Bukan tempat barang bekas!

Ya, selama ini saya melihat seorang ibu, ayah dan dua anaknya yang masih balita. Dan sore ini saya berpapasan langsung dengan anak-anak itu, serta melihat tawa cerianya. Mereka duduk di pinggir selokan sambil memainkan beberapa ranting pohon, sesekali tawa bahagianya terdengar.

Saat saya melewati pemandangan nyata ini dan berpapasan langsung dengan dua anak lucu tersebut, benar-benar rasa iba saya telah mati. Hanya rasa ikut gembira saat anak-anak itu menggenggam erat dunianya, tanpa mereka tahu betapa berat perjuangan hidup kedua orang tuanya.

Anak-anak ini sungguh telah menerima pendidikan atas kehidupan yang mungkin bagi orang lain tidak mudah.

Mereka berlarian berdua, dengan baju yang agak kekecilan nan lusuh. Sang Ibu hanya terduduk di pinggir jalan sambil tetap memperhatikan buah hatinya kesana kemari. Sementara Sang Ayah sibuk merapikan sisi dalam gerobak, yang nampaknya menjadi tempat tidur dua anaknya itu.

Tuhan, Engkau pasti melihat bagaimana perjuangan keluarga ini.
Bagaimana anak-anak itu berlari dengan riangnya.
Bagaimana Sang Ibu yang nampak lelah, namun hanya trotoar yang bisa jadi sandarannya.
Bagaimana Sang Ayah sekuat tenaga ingin membahagiakan anak-anaknya dengan memberikan tatanan tempat tidur yang nyaman.

Ini pemandangan yang menyedihkan. Entah apa yang bisa kita lakukan. Termasuk saya. Terbaik dan terindah, saya hanya mampu membalas senyum anak-anak itu yang berlarian di sore hari. Kala tubuhnya yang mungil nyaris menabrak saya yang juga tidak besar.

Karena jika kita tidak bisa menolong orang lain, maka berikanlah senyummu yang paling manis.

Lalu bersyukurlah, dengan apa adanya kita saat ini.

(dnu, ditulis sambil jalan kaki di trotoar menuju sevel, 1 September 2014, 17.09)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun