Di atas atap rumah, seorang pria berjaket gelap asyik menikmati pemandangan di depan matanya. Seorang wanita bergaun sutra putih duduk terdiam bertopang dagu. Sesekali tangannya mengibaskan poni rambutnya yang tertiup semilir bayu. Dari sudut matanya nampak butiran kristal yang enggan beralih.
Sang pria mendekati sang wanita dan memeluknya dari belakang. Setelah menghela nafas panjang, ia berbisik di telinga, "Fe... Menangis lagi ya ?"
Fe terkejut sesaat, lamunannya buyar seketika dan dipaksakannya menyungging senyum menikmati peluk hangat kehadiran sang pria,"Baru selesai acaranya, El ? Maaf kau buka pintu pagar sendiri, aku tak mendengar kedatanganmu tadi."
"Gak papa, Fe." jawab El sambil melepaskan rangkulan tangannya dan duduk di kursi sebelah Fe ," Inget papa lagi ya, Fe ?"
Fe mengangguk ," Kau selalu tau yang mengusik anganku, El,"
El meraih kepala Fe dan merebahkannya di pundaknya, "Jangan tahan tangismu, Fe. Keluarkan jika bisa membuat bebanmu lebih ringan."
"Aku tadi sore melawat seorang teman. Ayahnya baru saja meninggal siang ini. Sepertinya terkena serangan jantung, wong pagi tadi masih sempat main tenis lapangan, tau-tau beliau jatuh seperti kesakitan sambil memegang dadanya," Fe memulai ceritanya.
"Hemmm... Lalu ?"
"Ya, sama teman-temannya langsung dilarikan ke Rumah Sakit. Tapi... gak tertolong, El,"
El mengelus-elus rambut Fe, yang sudah mulai terisak-isak, terbata-bata dan akhirnya menghentikan ceritanya.
"Fe..." El mengusap air mata Fe lalu mengecup keningnya lembut. Terdiam mereka berdua menikmati suasana malam yang merambat menuju pergantian hari. El membuka jaketnya dan berbagi kehangatan bersama Fe.
"El...."
"Iya, Fe....."
"Aku terkadang merasa takut, El....."
" Takut kenapa, Fe ?"
" Takut kehilanganmu, El "
"Sssttt, aku selalu di sini, kau takkan kehilangan aku, Fe." El memeluk Fe lebih erat, lalu mengangkat dagu Fe, menatap ke kedalaman mata Fe,"Aku selalu bersamamu, Fe"
Fe tersenyum manis ,"Aku tidak meragukan kesetiaanmu, El "
"Nah, kau tahu itu 'kan, Fe ?! And so... ?!"
"Kenapa laki-laki lebih dulu meninggal daripada perempuan ya, El ?"
"Memangnya seperti itu tha, Fe ?"
"Jangan mengelak, El. Banyak contohnya, Papa, Bapak, Pakdhe, Paklik, Oom, Mbah Kakung. Tetangga kita, Pak Hadi, Pak Suripto, Pak Usodo, Pak Sumardianto, Pak Wahono, Pak Sujito, Pak Sardjito, Pak Sudono. Bertambah lagi Bapak temanku hari ini. Masih butuh berapa banyak contoh lagi, El ?"
El tertawa kecil mendengar daftar nama yang disebutkan Fe ,"Kamu seperti petugas sensus kematian ya, Fe"
"Aku serius, El," Fe mencubit gemas lengan El.
"Aww..." El menjerit kecil menahan sakit cubitan kecil Fe, kemudian tertawa dan menjentikkan jarinya di hidung Fe.
"Sungguh... Aku takut, El. Aku bahkan berharap, biarlah aku nanti boleh lebih dulu meninggal daripada kamu, El. Aku takut kehilangan orang-orang yang aku kasihi, El..."
El menutup bibir Fe dengan jari telunjuknya sambil menggelengkan kepalanya "Jangan memaksakan kehendakmu pada Tuhan, Fe"
"Aku tidak memaksakan kehendak, El. Aku hanya meminta... Aku cuma berharap..."
"Kalau begitu, serahkan pada Tuhan. Tak usahlah kamu berpikir panjang atau pendeknya usia seseorang. Jalani usia pemberian Tuhan sebaik-baiknya. Okey, Fe ?!"
"El... "
"Trust me. I always be with u, forever and ever."
Fe dan El akhirnya tersenyum bersama.
"El, kau lihat bintang yang berkelap kelip di ujung sana ?"
El memandang mengikuti arah yang ditunjuk Fe ,"Iya, Fe. Kenapa ?"
"Sejauh apapun kita terpisah, kau selalu bisa merasakan hadirku melalui kerlap kerlip bintang itu, karena aku juga akan selalu bersamamu, El..."
Malam semakin larut, sunyi semakin mencekam. Tampaknya seluruh makhluk semesta alam bersembunyi di peraduannya masing-masing.
"El, semakin dingin ya..."
"Turun sekarang, Fe ?"
Fe mengangguk. Berdua mereka berjalan menuruni tangga. Setapak demi setapak. Di ujung tangga, sesaat gaun Fe tertiup angin, mengibarkan harum aroma malam yang membalut rindu. Langkah El terhenti menikmati sensasi itu.
"Fe..."
Panggilan El menghentikan langkah Fe, "Iya, El ?!"
Fe menoleh, membalik tubuhnya dan tiba-tiba El sudah berdiri di hadapannya. Memeluk erat Fe. Erat sekali. Seolah enggan melepasnya lagi barang sedetikpun. Kehangatan melingkupi, menepis sisa sisa terpaan dingin malam yang berusaha menerobos tubuh. El mengecup kening Fe....., lalu berpindah ke kedua alis Fe....., lalu berpindah ke kedua mata Fe....., lalu berpindah ke kedua pipi Fe....., lalu berpindah hidung Fe..... lalu ..........
Sayup-sayup terdengar alunan lagu 'i will always love you'-nya Whitney Houston yang menjadi soundtrack film Bodyguard.
"El... Jangan disini. Malu sama anak-anak" bisik Fe di sela-sela ketiadaberdayaannya.
El membimbing Fe ke ruang istimewa mereka. Serasa melayang tak menginjak tanah, begitu ringan langkah mereka berdua memasuki kamar depan itu.
El merebahkan diri di peraduan. Kedua tangannya terulur menarik tubuh Fe dan memaksanya turut serta berbaring berdua. Fe terhentak seketika dan terkikik perlahan saat jatuh dalam dekapan El..........
++++++++++
Dan kemudian..........
Kelambu jendela pun terbukalah, bersama semilir angin yang bersenandung dengan embun pagi, berusaha menerobos sinar surya yang menggeliat dari balik jendela, memulai aktivitasnya.
"Selamat pagi, papa. Ayo cepat bersiap ke gereja. Jangan lupa, sepulang dari gereja, nanti kita nyekar ya...."
El mengerjapkan mata, silau. Ia menoleh ke sampingnya, dan terlihatlah jaket gelapnya yang menjadi saksi bisu kisah rindunya pada Fe.
Sepenggal Cerita Rindu
di Jomby C-five, 220615-01.18
# written by Dewi Leyly
# pernah ditayangkan di FB Dewi Noviantoko