Dan itu adalah kali pertama aku melihat kesunyian di sepanjang perjalanan arah naik dari desa Asmorobangun sampai dengan desa Puncu. Desa yang bagiku sebelumnya adem ayem dan nggak ada matinya, selalu riuh dengan suara bocah-bocah yang ceria di sekolah, lalu lalang kendaraan yang melintas kerumunan para ibu di bakul ethek (tukang sayur keliling) langganannya, jajaran bapak dan ibu tani yang duduk di pematang sawah, yang dengan mesranya menyantap bekal sarapan dari rumah, atau hanya seorang nenek sepuh yang biasanya berpapasan denganku, berjalan terbungkuk-bungkuk dengan tongkat di tangannya menyeberang jalan di pertigaan itu.
KEMBALI KE ARTIKEL