“
Walau zaman sudah sangat berkembang dan terlibas arus globalisasi, Indonesia masih erat memegang adat budaya ketimuran. Sebagian besar, bahkan hampir seluruh warga Indonesia terkesan ramah, santun, dan agamis. Begitu pula dalam kehidupan kaum perempuan, banyak peraturan yang sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi harga diri dan martabat kaum perempuan. Banyak hal yang masih ditabukan, dan itu sebenarnya cara 'semesta' untuk menjaga kaum perempuan.” Ngesti tercenung membaca paragraf itu. Sebagai wanita kelahiran Jawa, dia memang sangat-sangat menjaga diri, sesuai dengan pitutur dari almarhumah ibunya. Diulanginya kembali membaca paragraf dari tabloid kesayangannya itu. Dalam rangka hari Kartini, tabloid itu mengulas tentang perempuan dan budaya. Ya benar, budaya Jawa sangat mengagungkan wanita dan memiliki seperangkat alat untuk memuliakannya, dalam semua aspek kehidupannya. Kaum perempuan selalu ditempatkan dalam perlindungan kaum lelaki, apapun statusnya. Sebagai seorang anak, dia berada dalam tanggung jawab sepenuhnya sang ayah. Jika ayahnya sudah tiada, maka kakak laki-laki akan menggantikan peran ayah untuk melindungi dan menghidupinya. Jika tak ada kakak laki-laki, maka adik laki-laki atau pamannya yang akan melakukan itu. Jika sudah menikah, maka lepaslah tanggung jawab seorang ayah karena otomatis akan beralih menjadi tanggung jawab suaminya. Seandainya suami meninggal atau mereka bercerai dan anak lelakinya sudah besar, maka anak lelaki inilah yang bertanggung jawab terhadap kehidupan ibunya. Begitulah seharusnya ... Perempuan selalu ada dalam perlindungan lelaki. Bahkan dalam ajaran islam, tak ada kewajiban seorang perempuan untuk mencari nafkah. Ngesti masih memegang tabloid itu, tapi pandangannya tidak mengarah pada deretan huruf di hadapannya. Pikirannya menerawang pada jalan hidupnya sendiri, yang penuh liku dan perjuangan berat. Ia perempuan, tapi kehidupannya tak seberuntung kaum perempuan pada umumnya. Sejak kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, ia yang merupakan anak semata wayang dibesarkan oleh pamannya. Setelah lulus kuliah dan bekerja, Ngesti menikah dengan pria bersahaja rekanan kantor tempatnya bekerja. Mereka hidup berbahagia dan dikaruniai dua orang anak. Namun kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Kanker otak telah merenggut nyawa suaminya saat kedua anaknya masih balita. Tak ada lagi tempat bergantung, karena sang paman juga telah berpulang, tepat dua tahun setelah pernikahannya. ***** Ngesti, wanita keturunan Jawa yang lembut harus bergulat dengan kerasnya kehidupan ibukota. Sudah belasan tahun ia hidup sendiri dan menjadi
single parent. Kedua anaknya semakin besar dan membutuhkan biaya sekolah yang tidak sedikit. Sempat terlintas dalam pikirannya untuk menikah lagi, namun ia tak juga menemukan pria yang cocok. Setiap lelaki yang mendekatinya masih berstatus suami. Ada seorang duda beranak satu yang menjadi teman dekatnya beberapa bulan terakhir. Bimo berusia dua tahun di atas Ngesti, namun lelaki itu hanya menganggapnya sebagai adik. Mereka sering jalan bareng dan terbuka dalam menceritakan kehidupan sehari-hari. Walau sudah dekat dan saling memahami, namun entah kenapa sepertinya tak ada niat lelaki itu untuk menikahinya. Berulang kali diungkapkan, kalau persahabatan dan persaudaraan lebih indah dari ikatan pernikahan. Ngesti hanya wanita Jawa biasa, yang berusaha mengisi kekosongan hatinya dengan kerja dan urusan rumah tangga. Namun demikian, ada saat ia tenggelam dalam kenangan indah bersama suaminya. Betapa ia sangat menikmati saat berdua di peraduan, menempelkan pipi kanan di dada suaminya. Tangan kiri suaminya akan merengkuh bahunya, lalu mengusap-usap lembut punggungnya, sementara tangan kanannya membelai kepalanya penuh cinta. Sesekali menyisir rambut lebatnya dengan jemarinya dan mengelus kedua pipinya. Hangat, nyaman, tentram dan damai. Kadang muncul keinginan untuk mendapatkan semua itu dari Bimo, namun ia selalu teringat pitutur almarhumah ibunya untuk senantiasa menjaga diri dan kehormatannya. Dia tak mau membuat ibunya bersedih di alam sana karena melihatnya melanggar norma agama dan adat ketimuran. Ngesti seorang wanita jawa yang tegar dan kuat. Walau jatuh bangun perjalanan hidupnya, ia berhasil bangkit kembali untuk meneruskan kehidupan bersama kedua buah hatinya. Ia sudah menduduki jabatan
Vice President di sebuah perusahaan multinasional dan kedua anaknya hampir menyelesaikan kuliahnya. Sudah selayaknya hidupnya penuh kebahagiaan, namun benarkah ia bahagia sebagai perempuan? *****
KEMBALI KE ARTIKEL