Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Wanita Karir Menurut Islam

8 Januari 2016   21:26 Diperbarui: 8 Januari 2016   21:56 49 1
Allah Ta’ala menciptakan laki-laki dan wanita dengan karakteristik yang berbeda. Secara alami (sunnatullah), laki-laki memiliki otot-otot yang kekar, kemampuan untuk melakukan pekerja-an yang berat, pantang menyerah, sabar dan lain-lain. Cocok dengan pekerjaan yang melelahkan dan sesuai dengan tugasnya yaitu menghidupi keluarga secara layak.
    Sedangkan bentuk kesulitan yang dialami wanita yaitu: Mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh dan mendidik anak, serta menstruasi yang mengakibatkan kondisinya labil, selera makan berkurang, pusing-pusing, rasa sakit di perut serta melemahnya daya pikir, sebagaimana disindir di dalam Al-Qur’an ,
    “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapanya; Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.”(QS. Luqman: 14).
    Ketika dia melahirkan bayinya, dia harus beristirahat, menunggu hingga 40 hari atau 60 hari dalam kondisi sakit dan merasakan keluhan yang demikian banyak, tetapi harus dia tanggung juga. Ditambah lagi masa menyusui dan mengasuh yang menghabiskan waktu selama dua tahun. Selama masa tersebut, si bayi menikmati makanan dan gizi yang dimakan oleh sang ibu, sehingga mengurangi staminanya.
    Oleh karena itu, Dienul Islam menghendaki agar wanita melakukan pekerjaan/karir yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang dapat menjaga kehormatan dirinya, kemuliaannya dan ketenangannya serta menjaganya dari pelecehan dan pencampakan.
    Dienul Islam telah menjamin kehidupan yang bahagia dan damai bagi wanita dan tidak membuatnya perlu untuk bekerja di luar rumah dalam kondisi normal. Islam membe-bankan ke atas pundak laki-laki untuk bekerja dengan giat dan bersusah payah demi menghidupi keluarganya.
    Maka, selagi si wanita tidak atau belum bersuami dan tidak di dalam masa menunggu (‘iddah) karena diceraikan oleh suami atau ditinggal mati, maka nafkahnya dibebankan ke atas pundak orangtuanya atau anak-anaknya yang lain, berdasarkan perincian yang disebutkan oleh para ulama fiqih kita.
    Bila si wanita ini menikah, maka sang suamilah yang mengambil alih beban dan tanggung jawab terhadap semua urusannya. Dan bila dia diceraikan, maka selama masa ‘iddah (menunggu) sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah, membayar mahar yang tertunda, memberikan nafkah anak-anaknya serta membayar biaya pengasuhan dan penyusuan mereka, sedangkan si wanita tadi tidak sedikit pun dituntut dari hal tersebut.
    Selain itu, bila si wanita tidak memiliki orang yang bertanggung jawab terhadap kebutuhannya, maka negara Islam yang berkewajiban atas nafkahnya dari Baitul Mal kaum Muslimin.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun