[caption id="attachment_115571" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Secara teori, sejujurnya saya bukanlah orang Papua. Rambutku lurus dan berkulit sawo matang. Ayahku berasal dari Sumatera Utara dan Ibu dari Jawa Tengah. Tapi terlahir di bagian Timur negara Indonesia tercinta ini, merupakan salah satu berkat terindah yang kuperoleh. Ku belajar banyak tentang artinya sebuah perbedaan. Mungkin banyak sahabat-sahabat kompasianer yang mengira di sini masih memakai koteka, masak menggunakan tungku, berjalan kaki berkilo-kilo meter atau masih menempati rumah adat (honai) sebagai tempat tingal.
Hahahaha.. tentu saja tidak. Perlahan Pulau Papua mulai bangkit. Terutama kotaku tercinta, Kota Sorong. Sebagai pintu gerbang, kota Sorong terkenal sebagai kota minyak. Cuaca di sini sangat panas. Mungkin itu yang membuatku tidak bisa seputih teman-teman yang tinggal di Pulau Jawa. Tapi saya sangat bangga dengan kulit kecoklatan ini.
Hmm.. Sudah ngelantur panjang lebar ni. Kata Mas Tukul, " kembali ke laptop!" (Peta Pulau Papua. Kota Sorong berada di ujung, sebagai pintu gerbang) Di Papua, kota Sorong tepatnya sudah mengalami berbagai kemajuan. Mulai dari menjamurnya ruko-ruko sampai dengan supermarket. Sekolah rintisan Internasional juga sudah ada. Pergaulan anak-anak mudanya pun tidak ketinggalan. Hampir di setiap malam minggu dan minggu sore. Ratusan anak-anak muda terdiri dari perkumpulan motor, mobil, band, sampai
gank-gank yang sering pula menggunakan seragam. (
biasalah.. anak baru labil. :D)Mereka berkumpul di suatu tempat yang di beri nama "Tembok Berlin". Di sana ada sebuah lapangan sepak bola, warung makan, cafe serta pantai yang di batasi oleh tembok berukuran tinggi kurang lebih 3 meter dan membentang sepanjang 300 meter.
Ya.. tempat untuk pacaran gitu sih.. hihihi.. Untuk masalah
fashion, teman-teman di Sorong juga tidak mau kalah
lho. Sudah banyak distro yang ada di Kota Sorong. Atau supermarket yang menjual berbagai-bagai jenis pakaian. Perkembangan teknologi juga tetap menjadi prioritas. Jadi, jangan berpikiran sempit ya tentang kami yang tinggal di jauh di bagian Timur sini. Kami tidak mau ketinggalan dari teman-teman yang ada di daerah Barat sana.
Ngomong-ngomong, sebagai daerah yang mendapat otonomi khusus, kadang (
kadang2 lhoo) saya merasakan perbedaan dengan teman-teman yang berasal "asli" dari Papua dalam hal perlakuan. Mereka lebih diprioritaskan. Padahal saya merasa sudah menjadi bagian dari daerah ini. Lahir dan di besarkan di Papua, membuat hati dan jiwaku menyatu pada salah satu pulau yang terkenal dengan pesona alamnya. Dan apa otonomi khusus membuatku merasa terkucilkan? tentu saja tidak.
Epen kah?? ("
emang
penting kah.??" logat yang sering digunakan di Papua. :D) Saya berpikir wajar-wajar saja apabila putra dan putri daerah "asli" papua mendapat keistimewaan. Karna bagaimanapun ini adalah "daerah" mereka. Jadi kebahagiaan dan rasa syukur tetap tertanam di dalam hatiku. Seperti Motto Papua Barat, "Hitam, Putih kulitku. Keriting, Lurus Rambutku, Aku PAPUA. " Salam! :)
KEMBALI KE ARTIKEL