(a). mendapatkan pendidikan formal dari tk sampai s1 di bandung.
(b). merasa dimatikan kreatifitasnya pada waktu tk karena menulis angka 4 yang tidak sesuai dengan yang diajarkan, dan akibatnya saya dimarahi didepan 'saingan' tanpa ditanya alasan mengapa saya menulis angka 4 seperti yang saya mau dan bukan seperti yang diajarkan.
(c). terpesona dan berpendapat bahwa hanya matematika dan pelajaran ilmu alam sajalah yang pantas dianggap sebagai ilmu; yang lain adalah sampah dan karenanya mempelajari ilmu-ilmu sosial, bahasa dan lain sebagainya hanyalah buang-buang waktu
(d). merasa trauma untuk menyanyi di depan umum sejak sd karena pernah merasa dipermalukan di depan kelas akan ketidakmampuan saya untuk menyanyi dengan baik dan benar.
(e). menjadi guru privat untuk alasan ekonomi.
(f). mencoba mengajarkan menulis dan matematika kepada anak jalanan dan berujung pada pertanyaan : "apakah mereka membutuhkan ilmu tersebut?"
(g). menyesal karena terlambat menyadari bahwa bahasa, sejarah dan ilmu sosial lainnya adalah ilmu yang sangat penting.
(h). menyesal menyadari keindahan suatu bahasa.
(h). menyesal bahwa tidak pernah mendapat pelajaran filsafat.
(i). bercita-cita menjadi guru bahasa sunda
(j). menangis melihat anak-anak yang rumahnya beratapkan langit. Saya membayangkan betapa sedihnya jika saya ada di tempat mereka: tidak bisa pergi bersekolah.
(k) sedang merasa beruntung mendapat kesempatan melihat bagaimana pendidikan di luar indonesia.
Meskipun bukan seorang ahli pun bukan seorang praktisi pendidikan, seringkali emosi saya teraduk-aduk membaca artikel tentang pendidikan. Dari sudut pandang si penerima pendidikan, saya ingin mengomentari beberapa poin yang terinspirasi berita di media online dan bercermin pada pengalaman pribadi yang intinya adalah pendidikan tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari kondisi sosial-politik-ekonomi suatu bangsa. Perdebatan tentang ujian nasional tidak bisa hanya dijawab dengan perlu/tidak perlu.
1. Ujian Nasional adalah pragmatisme dalam dunia pendidikan yang merupakan cerminan dari perilaku ekonomi yang berlaku. Kondisi yang real dan jujur adalah jenjang pendidikan merupakan salah satu tiket yang bisa diandalkan untuk memperoleh gaji yang tinggi. Menurut hemat saya, cara termudah untuk mendapatkan satu pegawai dari ribuan pelamar adalah dengan melihat latar belakang pendidikan seseorang. Manakah yang lebih menjual: lulusan sekolah bisnis Harvard vs lulusan sekolah bisnis lokal? Lulusan S2 vs lulusan S1? Lulusan sekolah teknik di Jerman vs lulusan sekolah teknik dari daerah antah berantah di indonesia? Jika saya harus mendapatkan satu orang pegawai dari ribuan pelamar, rasanya tidak akan ada yang mempertanyakan keputusan saya yang memilih pegawai lulusan salah satu universitas negri top dibandingkan lulusan universitas yang namanya pun baru saya dengar misalnya. Tidak berarti bahwa keputusan saya pasti benar, tapi berdasarkan statistik, keputusan saya untuk memilih pegawai ber IPK 4.00 dari universitas negri top mempunyai peluang 'benar' lebih besar dibandingkan jika saya memilih sebaliknya. Pertanyaannya adalah bagaimana kemudian universitas-universitas top ini mendapatkan mahasiswanya? Lagi-lagi, cara termudah adalah melalui ujian saringan masuk yang seragam bagi seluruh calon mahasiswa. Dengan cara ini, mungkinkah universitas-universitas top ini menemukan bakat-bakat terpendam seorang calon mahasiswa yang tidak sempat terasah karena kurangnya fasilitas (bukankah kita harus jujur mengakui adanya ketimpangan fasilitas pendidikan di daerah yang berbeda)? Memang selalu ada perkecualian, tapi jawablah secara jujur berapa persentasinya? Bukanlah, lagi-lagi, statistik-lah, ujian masuk-lah yang menentukan diterima/tidaknya seorang calon mahasiswa?
2. Pendidikan dan kondisi politik.
Saya pernah berbincang-bincang dengan seseorang yang bekerja untuk edufrance (lembaga resmi kedubes perancis yang memberikan konsultasi pendidikan di perancis) dan mengatakan bahwa di perancis masalah pendidikan diatur sedemikian sehingga jumlah kursi di fakultas kimia suatu universitas misalnya diatur berdasarkan prediksi strategis pemerintah perancis akan kebutuhan ahli kimia di masa yang akan datang. Adakah hal yang sama terjadi di Indonesia? Saya tidak tahu pasti, tapi inilah hasil bincang-bincang santai saya dengan seorang penerima beasiswa dari pemerintah RI: tidak pernah ada briefing mengenai kerangka strategis pemerintah Indonesia dan hubungannya dengan beasiswa yang diberikan. Semoga ini hanyalah ketidaktahuan teman saya saja. Sebagai seorang mantan pembayar pajak di Indonesia, boleh dong saya berharap bahwa pemberian beasiswa ini didasarkan atas perhitungan matang akan kebutuhan masa datang sehingga tidak ada lagi cerita pilu seorang doktor iptek lulusan luar negri yang menjadi administrator (saya sama sekali tidak bermaksud merendahkan pekerjaan administrasi atau pun mendewakan doktor lulusan luar negri). Di tengah politik energi dunia yang siap berubah, apakah pemerintah memiliki rencana strategis 20-30 tahun ke depan di bidang energi misalnya? Di tengah kecenderungan dunia untuk menggunaan energi ramah lingkungan dan terbarukan, bagaimanakah pandangan pemerintah Indonesia akan hal ini? Sudah adakah implementasi kebijakan energi indonesia di perguruan tinggi? Atau haruskah suatu saat, bangsa Indonesia membeli teknologi pemanfaatan tenaga surya dari Jerman yang notabene tidak mendapatkan sinar matahari semelimpah Indonesia?
(bersambung)