[caption id="attachment_205073" align="aligncenter" width="390" caption="sumber: google"][/caption] Jika orang bijak menganalogikan hidup itu bak roda pedati, kadang berada di atas kadang di bawah, aku setuju. Hidup memang naik turun berirama dengan riak-riak kecil yang tak sampai membalikkan sampan. Namun hidupku berbeda. Perjalanan hidupku terasa bak menaiki
roller coaster. Ketika sumbu itu sampai di posisi puncak, dia kembali menghentak turun, dengan kecepatan yang memacu adrenalin. Kemudian terhenti di titik nol. Titik nadir. Di sinilah aku kini. Lelaki beranak dua dengan isteri yang kehilangan hampir seluruh ingatannya. Bergerak ke sana kemari dengan komando, tak ubahnya robot yang dikendalikan
remote control. Dan
remote control itu adalah aku. Kini waktuku tersita untuk dia. Mengajarinya menulis, membaca, bahkan mengenalkannya dengan benda-benda remeh temeh di sekitarnya. Dia kembali seperti balita. Bahkan kemampuan anak kami yang balita masih di atas dia. Namun pantaskah aku mengeluh, setelah semua yang dilakukannya untuk kami? "Su-sah..." terbata-bata dia mengungkapkan kesulitannya di depan guru yang menanganinya. "Pelan-pelan Bu. Nah begini, huruf
t dulu lantas huruf
n nya samar di sambung
i dengan ekor ke atas. Coba lagi ya." "Un- tuk a-pa ini?" matanya menerawang kosong. "Supaya Ibu bisa bekerja lagi. Masih ingin bekerja kan Bu?" Wanita setengah baya itu sedang mengajari isteriku mengenali tanda tangannya kembali. Dia juga yang membantu isteriku belajar baca tulis kembali. Selain wanita setengah baya itu, masih ada dua orang lagi sebagai terapis khusus isteriku. Satu untuk terapis motorik dan satunya psikiater. Menurut dokter yang menangani, isteriku membutuhkan itu semua. Dan aku setuju. Meski untuk semua itu kocek harus ku rogoh dalam. Sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi, beban itu terasa mencekik. Kini beban itu harus aku pikul dengan kedua lenganku sekarang. Karena isteriku sudah 3 bulan ini tak lagi mendapatkan gajinya sebagai pegawai negeri. Kondisinya tak memungkinkan untuk beraktivitas keluar rumah. Bahkan ke kamar kecil pun harus didampingi. Aku kehilangan sosok yang selalu bergerak energik. Sosok yang sebelumnya selalu siap membereskan seluruh urusan intern rumah tangga. Sosok yang ketika pagi-pagi terdengar celotehnya di seantero rumah mungil kami. Dari menyiapkan sarapan untuk kedua puteri kecil kami dan membangunkan mereka agar bersiap ke sekolah
fullday, hingga menyiapkan segala perlengkapan kerjaku. Dari baju dengan stelan celanaku yang harus
matching, dasi, kaos kaki, sepatu, bahkan dia ikut mengingatkan perlengkapan mengajarku apa sudah komplit atau tidak. Asisten yang membantu isteriku mengurusi rumah kami memang tidak menginap. Dia datang pagi ketika pekerjaan yang mendesak telah ditangani isteriku, dan pulang menjelang senja. Kini sosok itu tergolek lemah, hanya sanggup melangkah tertatih-tatih, dengan kata-kata terbatas yang diucapkannya dengan terbata-bata. Sosok energik itu telah pergi.
KEMBALI KE ARTIKEL