Sepuluh tahun lalu kucingku hanya satu. Ya, ia adalah si Nero yang kini sudah almarhum. Kucing oren ini langsung membuatku jatuh hati ketika ia memainkan jemuranku. Nakalnya... tapi imut. Ia juga membuatku trenyuh ketika wajahnya nempel di jendela melihatku menyantap mie goreng telur.
Sejak itu hari-hariku diwarnai oleh si Nero. Aku memanjakannya, membuat ia merasa jadi si kaisar Nero. Ia pun menjadi kucing preman, pemimpin geng, namun ada saja tetangga yang memanggilnya si Cemot.
Ketika rumahku direnovasi dan aku terpaksa mengontrak rumah sementara, Nero selalu kucemaskan. Aku pernah membawanya ke kontrakan, tapi ia tak betah. Ia ketakutan karena di lingkungan baru ada banyak kucing liar yang ia tak kenal.