Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Pilihan

Resensi "Kisah Seorang Pedagang Darah"

13 Februari 2022   11:07 Diperbarui: 13 Februari 2022   12:33 1745 6

Meski judulnya agak 'seram' tentang pedagang darah, ini bukan cerita horor  ataupun thriller. Ini adalah novel yang berkisah tentang kehidupan sebuah keluarga pada masa revolusi kebudayaan di Tiongkok. Era Mao.

Sosok pedagang darah itu adalah Xu Sanguan. Ia saat muda baru tahu dari kedua sepupunya bila ia mampu dapat uang lumayan dari hasil menjual darah di sebuah klinik. Nilainya 35 yuan. Dengan uang sebanyak itu ia bisa makan enak, membeli arak,  membeli baju, bahkan mendapatkan seorang istri.

Lalu mulailah ia menjual darah dan menikah dengan Xu Yulan, gadis paling cantik yang pernah dilihatnya. Namun kehidupannya bersama Xu Yulan tak selalu manis.

Bersama tiga anaknya, mereka menjalani pahit manis kehidupan  terutama era Mao yang membuat mereka sesak nafas. Ia terpaksa harus kembali menjual darahnya demi keluarganya. Dan lagi (lagi) seiring anak-anaknya makin dewasa, ia kembali menjual darah.

Sebuah Cerita yang Menggelitik
Awal-awal membaca novel ini, aku merasa kesal dengan dua tokoh utamanya, Xu Sanguan dan Xu Yulan. Keduanya sering bertengkar, tak malu-malu membongkar aib di depan tetangga, dan saling mempermalukan. Namun keduanya sebenarnya saling membutuhkan dan saling menyayangi.

Karakter dalam buku ini memang digambarkan tak hitam putih. Semuanya memiliki sisi buruk baiknya sehingga terasa membumi.

Ada beberapa hal yang menarik di novel ini. Misalnya tentang mereka yang terpaksa menyuap petugas darah agar diperkenankan menjual darah. Rupanya harga darah pada masa itu sangat bernilai, bahkan nilainya bisa melebihi hasil panen.

Menjual darah di sini juga memiliki simbolisasi yang unik. Ada yang menyebutnya seperti menjual leluhur, menjual sari pati kehidupan, menjual tenaga, dan sebagainya. Sekali dua kali menjual darah akan baik bagi tubuh pria. Tapi jika terlalu sering dan jaaknya kurang dari tiga bulan, malah bakal membahayakan, itulah saran yang didapatkan dari paman dan sepupunya.

Dalam novel ini juga dikisahkan betapa susahnya kehidupan saat era revolusi kebudayaan. Semua barang dan tanah pribadi jadi milik negara. Awalnya selama setahun, rakyat diberikan delusi kenikmatan, makanan disediakan negara selalu gratis. Mata mereka pun tertutup. Namun tahun-tahun berikutnya seperti neraka, di mana banyak yang menderita kelaparan. Kantin tempat makan gratis semuanya tutup, sementara mereka sudah tak punya lahan pertanian.

Sebuah novel yang menarik tentang pengorbanan dan kehangatan keluarga. Oh aku baru tahu kalau ada filmnya. Jadi ingin nonton filmnya. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun