Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature Pilihan

Aku Cemas dengan Nasib Hutan dan Satwa Kaltim

2 Februari 2022   00:07 Diperbarui: 2 Februari 2022   00:12 236 12
Jakarta sebagai ibukota disebut-sebut sudah mulai kurang representatif terkait dengan ancaman banjir, tanah yang makin turun, dan kemacetan yang berlarut-larut. Aku tak masalah ibukota suatu ketika dipindah ke tempat yang lebih baik. Namun saat ini situasi sedang pandemi, pembiayaan rasanya juga belum memadai, sehingga rasanya belum mendesak untuk dilakukan. Yang lebih mencemaskanku lagi adalah lokasi ibukota baru.

Kalimantan sering disebut sebagai paru-paru dunia. Ada begitu banyak plasma nutfah dan satwa di hutan-hutannya.

Dulu bayanganku Kalimantan adalah tempat yang hijau, eksotis dengan aneka ragam satwa dan flora seperti sebuah rimba belantara di cerita-cerita tentang Afrika dan Amazon. Namun rupanya itu hanya cerita masa silam.

Beberapa kali aku berkunjung ke Kalimantan. Tiga kali ke Kalimantan Timur, dan dua kali khusus ke kawasan Kutai Kertanegara, aku tertegun karena semakin lama kondisi alam di Kalimantan tak seperti bayanganku akan masa kanak-kanak. Kawasan yang hijau penuh dengan pepohonan tinggi yang telah berusia ratusan tahun.

Kunjunganku pertama tahun 2006 ke Banjarmasin diwarnai dengan cerita kebakaran hutan dan banjir. Waktu itu aku tertegun dengan cerita banjir dan kondisi yang sering mati lampu. Kok bisa? Bukankah alam Kalimantan itu hijau?

Seiring beberapa kali menuju Kalimantan, rasanya ada sesuatu yang perih. Ya, di berita sering ada kabar kebakaran hutan, pembukaan lahan sawit dengan perlakuan semena-mena kepada orang utan, serta pembukaan tambang yang tak sesuai amdal dan sebagainya.

Namun melihat hal tersebut di depan mata rasanya menyakitkan. Saat berkunjung ke Kutai berlanjut ke Bontang, aku menyaksikan dari pesawat yang terbang tidak begitu tinggi dari Bontang ke Banjarmasin kondisi alam di Kalimantan Timur.

Bukan alam yang hijau yang terbentang  namun sudah banyak lubang-lubang berwarna kecokelatan. Hutan sudah banyak berubah menjadi pemukiman, lahan sawit dan karet, serta pertambangan batu bara. Aku merasa miris, jika terus berlanjut seperti ini maka hutan di Kalimantan Timur mungkin tak akan tersisa, tinggal hutan Belanda yang ada di rawa-rawa Bontang dan hutan lainnya.

Berdasarkan data Walhi yang dilansir media online Merdeka pada tahun 2018, ada 1.208.697 hektar perkebunan kelapa sawit pada tahun 2017 dan 1.404 ijin pertambangan. Itu baru data tahun 2018, sepertinya sekarang terus bertambah.

Jika melihat data tersebut maka tak heran bila Penajam Paser Utara, yang merupakan calon daerah ibukota baru terjadi banjir pada Desember 2021. Pada 18 Desember 2021 ada 101 rumah yang terendam banjir.

Sebenarnya ketika Banjarmasin banjir besar pada Januari 2021, alam sudah mengisyaratkan bahwa bumi Kalimantan sudah mulai tak baik-baik saja. Demikian pula dengan kemudian yang terjadi di Paser Utara.

Alam di Kalimantan sudah tereksploitasi besar-besaran. Masih ada sejumlah kebakaran hutan di sana yang jarang diberitakan pada tahun 2021. Ini menunjukkan tak ada perhatian besar pemerintah kepada masalah lingkungan. Bukankah pelaku kebakaran hutan pada tahun 2019 juga tidak jelas bagaimana proses hukumnya saat ini?

Bagaimana bila alam Kalimantan Timur semakin tereksploitasi bila dijadikan ibukota baru? Itu membuatku merasa cemas. Aku kuatir dengan nasib satwa, demikian juga dengan kelestarian plasma nutfah di sana. Membuat perkebunan kelapa sawit menjadi hutan itu adalah sesuatu yang  menurutku tidak benar karena akan membuat punah plasma nutfah yang ada di sana.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun