Dulu komik Benny dan Mice dimuat di Kompas, lalu kemudian dibukukan. Jumlahnya lumayan banyak. Ada "Lagak Jakarta", "100 Tokoh yang Mewarnai Jakarta", dan "Lost in Bali". Komik ini dibuat dua komikus bernama lengkap Benny Rachmady dan Muhammad Mice Misrad.
Komik Benny dan Mice memiliki keunggulan tersendiri di antara komik-komik lokal lainnya. Selain gambarnya yang memiliki ciri khas tersendiri, tidak meniru komik Eropa dan manga Jepang, cerita-ceritanya juga dekat dengan keseharian.
Pembaca juga sebagian mungkin pernah mengalami hal-hal yang dialami kedua karakter utama, Benny dan Mice, juga karakter tambahan lainnya. Seperti tergiur diskonan barang bermerk atau handphone yang seolah-olah sudah menjadi benda primer di kalangan urban.
Cerita Benny dan Mice umumnya berlatar Jakarta. Namun juga ada yang berlatar di Bali ketika kedua komikus berlibur ke sana ("Benny & Mice Lost in Bali"). Juga ada latar Jawa bagian selatan dan Singapura lewat karakter tiga manula yang digarap oleh komikus Benny Rachmady (tanpa Mice).
Dalam komik "Lagak Jakarta" ada tiga hal utama yang disorot, kondisi Jakarta dalam keseharian, Jakarta pada saat  pra hingga pasca reformasi, dan 100 tokoh yang mewarnai Jakarta.
Pada "Lagak Jakarta: Edisi Koleksi I" pembaca diajak tersenyum mendapati cerita-cerita realita Jakarta yang getir, pahit, juga bikin hepi. Ada 300-an halaman di buku ini yang dibagi menjadi kategori tren dan perilaku, transportasi, dan profesi.
Latar waktu dalam komik ini adalah tahun 90-an hingga pertengahan tahun 2000. Di awal komik nampak Kopaja, Metro Mini di tengah kemacetan Jakarta dengan sungai yang airnya hitam. Lalu orang-orang yang euforia dengan handphone. Ke mana-mana membawa handphone, di pusat perbelanjaan ramai oleh ringtone. Menyeberang pun juga ada yang masih sibuk menelpon, daripada memerhatikan jalan.
Fenomena diskon juga jadi sorotan. Antrian diskon barang bermerk hingga aksi memborong barang bermerk di luar negeri bisa bikin kita tersenyum getir.
Komik ini juga menyoroti makanan seperti burger yang makin tebal dan makin sulit dimakan. Juga maraknya peredaran ecstasy dan putauw di kalangan muda saat itu.
Di bagian transportasi, pembaca akan tergelak membaca suka duka naik ojek, sensasi naik ojek sepeda, bajaj, bemo, dan bus tingkat. Tak semua jenis transportasi ini masih eksis saat ini sehingga membaca komik ini berasa seperti nostalgia. Di Jakarta beberapa profesi juga mulai menghilang seperti juru foto keliling sehingga komik ini merekam profesi yang pernah eksis di Jakarta.
Dalam buku kedua lebih berfokus pada masa reformasi. Ada masa krisis, reformasi dan huru hara Pemilu tahun 1999.
Komik ini menggambarkan keserakahan pihak-pihak tertentu, menghambur-hamburkan uang negara dan kemudian mereka kabur atau saling menyalahkan ketika kondisi sudah tak terkendali.
Kondisi penarikan uang besar-besaran dan orang-orang yang menimbun sembako juga tak luput dari sorotan. Harga-harga barang yang naik menjadi keluhan masyarakat sehingga kemudian muncul tips cara berhemat minyak goreng, misal menggoreng telur dengan bantuan daun pisang.
Yang menyedihkan adalah bagian cerita tentang kerusuhan dan penjarahan. Suasana Jakarta yang mencekam juga dibidik di komik ini. Situasi setelah demo dan pemilu tahun 1999 juga tak kalah menarik untuk dicermati.
Buku tentang 100 tokoh yang mewarnai Jakarta bukan tentang tokoh-tokoh besar atau selebriti, melainkan orang-orang biasa di Jakarta dengan profesi atau tampilan unik. Ada pencari kodok, penjual baskom, maling besi, jamet (Jawa metal), polisi cepek dan masih banyak lagi. Hahaha bikin tertawa dan juga nostalgia.