Karena ayah dulu bertahun-tahun bekerja di pabrik gula dan memiliki usaha tebu bekerja sama dengan para petani di Kabupaten Malang, maka aku merasa terkait dengan berita tentang penumpukan gula lokal tersebut. Aku begitu sedih membaca berita tersebut teringat oleh ayah yang sejak beberapa tahun lalu memutuskan berhenti menanam tebu. Bukannya untung malah rugi, masih untung kalau impas, ujarnya.
Dulu harga gula pernah hampir Rp20 ribu per kilogram di pasaran. Kini rata-rata harganya Rp12.500,- per kilogram. Meski harga pernah selangit tapi di tingkat petani kenaikan harga tersebut tidak berimbas ke kesejahteraan mereka. Harga di tingkat petani sama saja saat harga tinggi dan rendah di pasaran.
Dari berita yang kubaca di Radar Malang hari ini dan hari-hari sebelumnya ada masalah serius tentang stok gula di Malang. Gempuran gula impor membuat gula lokal tak berkutik dalam setahun ini. Ribuan ton gula lokal masih menumpuk di gudang PG Krebet dan PG Kebun Agung, belum beredar ke pasaran. Investor yang menjanjikan untuk membelinya tak kunjung menepati janjinya.
Gempuran gula impor ini tak hanya terjadi setahun terakhir. Hal ini disebabkan harga gula impor sangat rendah bila dibandingkan dengan gula lokal. Ada yang menyebut sebagian besar gula-gula tersebut belum gula yang matang alias masih setengah jadi atau jenis rafinasi sehingga harganya bisa lebih murah daripada harga gula lokal. Ada juga yang masih berupa gula mentah.
Gula mentah dan gula rafinasi ini sebenarnya peruntukannya untuk industri alias masih perlu diolah lagi. Tapi realitanya, tak sedikit yang dijual di pasaran. Padahal gula jenis rafinasi jika dikonsumsi terus-menerus bisa mengakibatkan permasalahan serius di tubuh. Dilansir dari hellosehat (18/12/2020), gula rafinasi salah satunya bisa menyebabkan tulang mudah keropos karena mencuri kandungan kalsium dan magnesium dalam tulang dan gigi.
Harga gula impor tersebut rata-rata Rp 6-7 ribu per kilogramnya. Sedangkan harga gula lokal ditetapkan sekitar Rp 10.600, - Rp 10.650,- per kilogramnya.
Kenapa harga gula lokal cukup tinggi? Hal ini dipengaruhi oleh beragam faktor terutama harga pupuknya yang mahal. Ketika aku dulu bertanya ke ayah, untuk tebu tidak cukup dengan pupuk alam seperti pupuk kandang dan kompos, tapi juga perlu pupuk kimiawi agar hasilnya berkualitas. Setelah itu tebu melalui beragam proses sehingga gula benar-benar matang, bukan jenis gula setengah jadi yang banyak ditemui di gula impor.
Harga pupuk yang mahal sudah menjadi masalah sejak satu dekade silam, bahkan mungkin sudah lebih lama lagi. Belum lagi antrian giling, rantai distribusi yang panjang, dan sebagainya. Rasanya hingga saat ini ada saja kebijakan tentang gula yang tak berpihak ke industri dan petani gula.
Apabila kebijakan impor gula tak segera dibenahi maka hal ini bisa membuat industri gula lokal tak akan bisa bertahan. Petani tebu di Kabupaten Malang dan daerah lainnya mungkin ke depannya hanya menjadi profesi kenangan.
Aku terharu ketika ada sekelompok masyarakat yang mulai peduli dengan nasib gula lokal Malang. Mereka langsung datang ke pabrik gula dan membeli sejumlah kecil gula agar timbunan gula di gudang bisa sedikit demi sedikit bisa berkurang. Seandainya saja banyak pelaku usaha makanan dan kelompok masyarakat yang melakukannya, maka pabrik gula dan petani tebu akan terbantu, sembari menunggu investor memenuhi janji.
Toh harga gula lokal dan gula impor di tingkat konsumen sebenarnya sama saja, rata-rata Rp 12.500,-. Bedanya bila membeli gula lokal maka yang akan diuntungkan adalah petani tebu, pabrik gula, dan masyarakat setempat karena membuka lapangan usaha bagi mereka.
Selama ini banyak yang menyayangkan kalangan muda yang mulai enggan menjadi petani. Tapi bagaimana bila memang kondisi nyatanya banyak hal yang tak menguntungkan bagi petani?