Ya, aku agak kecewa dengan Kompasiana yang sering kusingkat menjadi K. Entah kenapa filosofi lahirnya K yang kuketahui dengan K yang ada sekarang telah mulai bergeser.
Aku mulai memberanikan diri menulis di K tahun 2013, setelah sejak 2010 hanya menjadi pembaca. Saat itu aku merasa kagum dengan semangat pendirinya yang menyebut K sebagai rumah warga.
Ya seperti rumah dan keluarga, aku kemudian tumbuh bersama K. Aku yang awalnya lebih suka menulis saja, kemudian mulai membuka diri dan terlibat di berbagai acara K. Ikut acara komunitas ini dan itu, ikut nangkring di sini dan di situ, hingga kemudian aktif menjadi pengelola di salah satu komunitas di Kompasiana.
Antara aku dan kompasianer lainnya kemudian tumbuh rasa pertemanan, kami bisa saling bercanda, berdebat, dan mengadakan acara bersama. Rekan pengelola KOMiK seperti Yogi, Noval, Maidy, dan Linda sudah kuanggap seperti adikku. Mba Muthiah, Khairunissa, dan mba Windu sudah kuanggap seperti sepupu.
K seperti rumah ketiga bagiku, di luar rumah yang nyata dan rumah di lingkungan pekerjaan. Ia menjadi penampung ketika penat belajar dan bekerja. Ia sisi yang menghibur, setelah berkutat dengan jurnal dan analisa kebutuhan klien yang memeras energi dan otak.
Meskipun dua tahun terakhir K semakin banyak diisi iklan tak rapi dan pembaca makin sedikit, sebagian dari kami tetap rajin menulis. Kami masih tetap beraktivitas dengan ide-ide unik seperti membuat majalah film, lomba naskah film, hingga rencana-rencana lainnya masih berkaitan dengan film yang menarik.
Bagian yang membuat lega ketika selesai meluncurkan majalah film edisi bulan itu dan ada yang berkomentar di Twitter atau lainnya, merasa senang tulisannya dimuat. Rasanya mata pedih dan bahu pegal ketika proses mengerjakan majalah menjadi terbayar.
Tapi ketika K mengumumkan meluncurkan akun premium, aku sungguh terpukul. Ya memang penulis dan pembaca bisa memilih antara versi gratisan dan berbayar, tapi tetap rasa kecewa itu belum berlalu.
Meskipun login K kadang-kadang masih suka gagal, iklan banyak, dan pembaca hanya belasan, aku masih tak begitu kecewa. Sudah biasa. Ketika laman K dibagi-bagi menjadi halaman demi halaman dan makin berat, kadar kecewaku makin berat, tapi aku masih setia.
Ketika klien yang biasa mengundang nobar KOMiK mulai menurunkan jumlah kuota, aku mulai merasa ada apa-apa. Ketika pembaca mengeluh makin susah dan terbeban membaca di K, aku tahu apa-apanya.
Kecewaku makin banyak. Belum lagi urusan komunitas dengan janji-janji K yang tak ditepati, aku juga masih bertahan dan memberikan semangat ke pengelola lainnya. Padahal aku sendiri juga mulai ragu dengan K dan berpikir untuk mengundurkan diri dari komunitas.
Ya sejak K mulai makin komersil, aku jadi merenungi diri. Aku bertanya-tanya apakah majalah film lebih baik kusudahi? Apakah proyek penulisan buku film horor jadi proyek terakhirku, setelah itu aku menyepi, menulis di blogku sendiri juga fokus bekerja dan studi.
'Adik-adikku' menyemangatiku. Majalah film jangan berhenti dulu. Mereka tahu aku kecewa dan berniat mundur.
Aku masih kecewa dengan K. Ia tak lagi seperti rumah yang hangat bagiku. Tapi kekecewaan itu memudar apabila K hanya kuanggap sebagai tempat menulis, tak perlu melibatkan emosi. Jadikanlah K seperti ladang bisnis, tak perlu terikat dan mengikatkan diri.
Mungkin aku sudah tak benar-benar kecewa dengan K. Rasa kecewa itu sudah menjadi kristal dan mending tak disikapi. Buktinya aku masih menulis lagi. Atau menulis bagiku hanya sekedar terapi? Atau mungkin karena sudah kebiasaan rutin?