"Nanti aja bermaaf-maafannya, nunggu pas waktu lebaran", ujar kawanku dingin ketika aku meminta maaf kepadanya. Kami pernah miskomunikasi pada waktu bekerja. Kami berdua sama-sama kesal dan aku makin kesal ketika ia menolak permintaan maafku dan memintaku menunggu pas lebaran.
Aku sendiri bukan tipe yang harus menunggu momen lebaran untuk meminta maaf dan memberi maaf. Tidak enak marah-marah itu. Dan lebih tidak enak jika marah itu dibawa-bawa terus. Serius jadinya beban.
Sebagian kawanku untungnya juga bukan yang harus menunggu momen lebaran. Aneh jika bermaafan harus menunggu sebuah momen. Rasanya jadi terasa seperti sebuah formalitas belaka.
Memang ada jenis kesalahan tertentu yang sulit dimaafkan. Misalnya seseorang yang telah melukai perasaan, berbuat bohong, dan menyebarkan fitnah tentang kita.
Sekali dua kali ia berbuat seperti itu bisa dimaafkan. Tapi setelah ia melakukannya berulang kali rasanya berat untuk dimaafkan. Orang-orang seperti itu mungkin tidak sadar perbuatannya salah atau mungkin ia sebetulnya tahu dan merasa tenang-tenang saja karena menganggap akan dimaafkan.
Aku sendiri merasa memaafkan orang-orang yang toksik dan berbuat kesalahan besar ke kita itu rasanya berat. Ada rasa was-was ia akan mengulanginya lagi dan lagi.
Kadang-kadang ia menggunakan momen lebaran untuk waktu yang pas meminta maaf. Seolah-olah lewat pesan permohonan maafnya, ia berkata ayolah lebaranmu tidak akan genap jika belum memberikan maaf. Ibadahmu selama sebulan tak akan bermakna.
Ya aku akan memberi maaf. Tapi Kamu sudah tak lagi kuanggap sebagai kawan, kataku dalam hati. Kamu sudah seperti orang luar bagiku dan aku akan terus menjauhimu, tidak akan lagi menjadikanmu sebagai sahabat.
Bersikap Tulus Saat Bermaafan
Ketika masih kecil aku menyukai proses halal bihalal dan juga proses bermaaf-maafan. Kami berkeliling dan berkata "mohon maaf lahir batin" kepada semua yang datang. Acara kemudian dipungkasi dengan mengobrol dan makan-makan enak. Sungguh menyenangkan.
Tapi setelah tumbuh dewasa aku baru paham, rupanya bersikap tulus dan ikhlas itu benar-benar tidak mudah. Meminta maaf dan memberi maaf yang tulus itu tidak selalu mudah. Di luar bisa saja kita berkata saya mohon maaf atau saya sudah memaafkan, tapi di dalam hati kita siapa yang menduga kita sudah memaafkan dan memberi maaf dengan tulus.
Tulus dalam KBBI dimaknai sebagai sikap yang bersungguh-sungguh; sungguh dan bersih hati, tidak berpura-pura, dan benar-benar keluar dari hati yang bersih. Antara ucapan, niat, dan tindakan itu selaras. Jika kita berucap maaf tapi dalam hati masih sangat marah kepada orang tersebut maka kita belum benar-benar tulus memaafkannya.
Momen lebaran memang identik dengan bermaaf-maafan. Biasanya orang terdekat seperti pasangan, saudara kandung, orang tua, dan sahabat yang paling sering kita lukai perasaannya.
Kadang-kadang secara tak sengaja kita melampiaskan kekecewaan karena ada masalah pekerjaan dengan berkata kurang enak ke mereka. Mereka biasanya memaafkan karena paham situasi kita. Tapi bisa saja saat itu mood mereka juga sedang buruk sehingga menyimpan rasa kesal kepada kita, seperti yang pernah kualami antara aku dan kawanku.
Ya, meminta maaf dan memberi maaf dengan tulus memang berat. Tapi mari kita mencoba. Setidaknya ada momen yang pas untuk bermaafan. Setelah kita memohon ampun secara vertikal ke Tuhan, tibalah waktunya kita juga membersihkan hati dengan bermaafan secara horizontal, ke sesama manusia dan juga ke makhluk ciptaannya. Siapa tahu kita juga punya banyak salah ke hewan peliharaan kita.