Taman Solo selalu menyimpan kenangan tersendiri selama tinggal di Jakarta. Jalanan yang aslinya bernama Jalan Cempaka Putih Raya itu seperti miniatur pusat makanan mancanegara karena di sana berjajar beragam penjual makanan baik yang menyajikan kuliner tradisional maupun kuliner mancanegara. Saat pulang kantor jalanan ini padat oleh mereka yang ingin memanjakan lidah. Kali ini aku menjadi salah satu dari mereka, sambil menebak ke mana akhirnya aku duduk dan bersantap.
Rapat penutupan proyek itupun berakhir dan membuat kami bernafas lega. Setelah berhari-hari menyelesaikan analisa dan laporan serta sering absen menulis di Kompasiana, badan terasa lemas dan entah kenapa aku ingin sekali menyantap mie ayam.
Berjalan kaki sendirian dari gedung di bilangan Cempaka Putih menuju kawasan Taman Solo aku menyelidiki di mana penjual mie ayam gerangan. Hingga satu kiloan tak kujumpa.
Kemudian aku menyerah. Aku tak beruntung. Mie ayam tujuanku sedang tutup dan lainnya tempatnya kurang memadai. Sempit dan terasa kusam oleh kepulan asap rokok.
Aku kembali berjalan. Sekian tahun lalu ketika tinggal di kawasan ini aku selalu takjub dengan semangat pedagang makanan di sini. Suasana kompetisinya seperti penjual aneka makanan di kawasan Kelapa Gading. Berdarah-darah untuk menarik pembeli karena kompetisinya luar biasa. Hampir setiap langkah ada penjual makanan.
Dulu aku suka berjalan di kawasan ini hanya untuk mengetahui makanan baru apa saja yang hadir. Mana yang harus berlalu dan makanan mana yang kemudian menjadi andalan baru.
Bakso Taman Solo dulu menjadi salah satu primadona. Jika petang kami harus mengantri dan kadang-kadang harus menunggu. Aku pernah mencobanya dan makan terasa tidak tenang karena sudah ada rombongan yang menanti giliran. Baksonya memang enak tapi menurutku kurang istimewa.
Pizza dan ayam goreng santap saji masih banyak disukai. Jumlah makanan ini makin bertambah dengan frachise baru. Peminatnya rata-rata kalangan muda dan sebuah keluarga.
Di tempat ini sebuah restauran Padang yang cukup besar masih bertahan. Meski namanya sederhana, harga makanannya tak bisa disebut sederhana. Memang ragam dan rasanya juara. Makanan seperti telur dadar 'saja' rasanya benar-benar nikmat.
Berawal dari Taman Solo, Bebek Kaleyo menjadi terkenal. Aku ingat dulu menyantapnya pada masa tempat makannya hanya berupa halaman parkiran sebuah toko. Jika pagi menjadi sebuah tempat usaha, ketika sore hingga malam berubah menjadi tempat makan yang meriah. Bebek dan ayam disajikan bersama sambel hijau yang sedap. Tinggal pilih goreng atau bakar.
Dulu aku menikmatinya sambil berkeringat. Hawanya panas terimbas dari tempat pembakaran. Perutku juga agak panas karena sambalnya pedas. Semakin malam semakin meriah karena banyaknya pengamen berlalu-lalang.
Kini pedagang makanan semakin beragam di kawasan ini. Baik yang berupa restoran besar, kedai sederhana, maupun warung tenda dan makanan kaki lima mencoba menarik pembeli dengan tampilan dan aroma makanannya. Fasilitas WiFI, AC, dan ruangan yang nyaman biasanya disuka rombongan anak muda. Sementara aku lebih mudah tergoda oleh aroma dan makanan yang tidak begitu mahal.
Kini petang ini aku membiarkan langkahku dan mataku bersatu padu menelusuri satu-persatu makanan yang dihidangkan di Taman Solo. Tak kutemukan mie ayam ataupun bakmi. Aku pun kemudian terpaku dengan nasi goreng kambing yang disajikan oleh warung tenda.
Aku menyibak kain dan masuk ke dalam tenda. Tempatnya sederhana. Menunya serba kambing, termasuk nasi gorengnya. Aku pun kemudian sabar menunggu dan mencoba untuk tak marah ketika ada pembeli lainnya yang asyik merokok.
Ibunya memasak dengan brutal. Ia tak memperlakukan bahan makanan dengan rasa sayang. Ia memasak dengan api besar ketika memulai untuk tumisan. Aku merasa ngeri bawang putih dan lainnya bakal gosong.
Ya nasi goreng kambing itu terhidang. Tampilannya sederhana. Untunglah rasanya lumayan meski daging kambingnya hanya seperti aksesori belaka.
Rupanya aku lapar. Sebagian nasi goreng pun masuk ke dalam perut. Ditutup dengan jeruk hangat.
Dulu aku punya nasi goreng kambing langganan di kawasan ini. Nasgornya sedap dan irisan daging gorengnya cukup banyak. Harganya juga tak begitu mahal.
Entah kemana pedagang nasgorkam itu pindah. Nasgorkam yang kusantap kali ini rasanya sulit menggantikannya.
Pembeli kini mulai ramai. Langit pun juga mulai menggelap, sebentar lagi matahari terbenam. Aku merapikan tas dan jaketku, perjalanan pulang bakal panjang.