Saat itu masih masuk liburan sekolah sehingga anak-anak menikmati suasana bulan Ramadan dengan menjalankan tradisi klotekan. Aku masih merasai tradisi tersebut saat masih berkuliah dan bekerja di Surabaya.
Waktu Imsa' dan Subuh di Surabaya memang lebih awal daripada di Jakarta. Subuh di Surabaya sekitar pukul 04.00 sehingga pukul 02.30 dini hari kami biasanya sudah bersiap-siap untuk sahur. Adanya klotekan itu membuatku terbangun tanpa weker. Aku sangat terbantu dan kini aku merindui suasana tersebut.
Tradisi Ramadan berikutnya yang masih langgeng di berbagai daerah yaitu bergantian menyiapkan makanan takjil dan makanan berat untuk berbuka puasa di masjid. Hampir setiap warga mendapat giliran menyiapkan makanan secara bergotong-royong. Makanan tersebut bisa dinikmati siapapun, baik warga setempat yang berbuka puasa dan beribadah sholat Maghrib di masjid, maupun para musafir dan pengunjung dari luar kampung.
Tradisi ini masih berjalan, baik di lingkungan kampung halamanku di Malang, maupun di lingkungan tempat tinggalku saat ini di bilangan Jakarta Timur. Untunglah budaya gotong-royong ini masih terawat hingga kini.
Tradisi nyekar atau berziarah kubur juga masih banyak dilakukan hingga saat ini. Biasanya nyekar dilakukan saat sebelum puasa dan usai sholat Idul Fitri. Banyak yang memilih pulang kampung saat menjelang puasa untuk berziarah ke makam keluarganya.