Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Kisah-kisah tentang Bandara Kota Malang

27 Januari 2014   09:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26 5770 0

Ada banyak kisah tentang pengalaman saya dan rekan selama menikmati fasilitas bandara Abdulrachman Saleh yang berada di kompleks angkatan udara ini. Mulai dari parkir kendaraan yang harus rapi, kemacetan selama apel penurunan bendera, dan hukuman push up yang diterima sohib kakak karena ngebut selama di kompleks AU ini.

Di Malang, akses ke bandara cukup susah. Sebenarnya saya pernah melihat ada angkutan umum memasuki kompleks AU ini. Tapi perhentian terakhir angkutan umum ini berada di luar pintu masuk bandara yang sangat jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Angkutan umum ini juga jarang lewat dan saya sangsi angkutan umum ini konsisten melewati rute ini. Tempat keberangkatan/perhentian angkutan umum ini juga tidak saya ketahui, apakah di Terminal Arjosari atau di Tumpang.

Alhasil karena sepinya saingan, taksi bandara di sini cukup laris, padahal tarifnya sekitar tahun 2008-2009 sangat mahal karena tidak menggunakan argo, yaitu Rp 60 ribu. Kalau saya mengandalkan saudara untuk menjemput hehehe. Bensinnya tidak sampai tiga liter untuk pulang pergi dan waktu tempuhnya kurang dari 45 menit. Pernah saya melihat dua orang asing yang berjalan kaki menuju tempat perhentian angkot tersebut. Kasihan juga melihatnya. Selain jaraknya sangat jauh mereka memanggul tas ransel yang sangat besar dan nampak berat. Wah kalau jeep saya mengangkut mereka bakal tidak muat ranselnya. Saya tak berani memandang mereka dan berharap angkutan umum tersebut tersedia saat mereka tiba di pos masuk/keluar.

Entahapakah saat ini sudah ada transportasi umum selain taksi sejak bandara baru dioperasikan. Seharusnya sih sudah dipikirkan oleh Angkasa Pura dan Pemda untuk kenyamanan penumpang. Gara-gara tarif taksi yang mahal ini, teman saya memilih turun di bandara Juanda padahal rumahnya di Blitar lebih dekat ditempuh dari kota Malang. Alasannya logis. Dengan Rp 60 ribu ia sudah bisa naik Damri Juanda-Bungurasih dan naik bus patas ke Blitar, masih ada uang kembalian lagi. Dan tarif pesawat menuju Juanda umumnya relatif lebih murah dan frekuensinya lebih banyak dibandingkan ke Malang. Saat awal dibuka, Malang dari Jakarta hanya dilewati Sriwijaya Air, menyusul kemudian Batavia Air. Karena sedikitnya jadwal keberangkatan, tiket Sriwijaya Air rata-rata Rp 600-700 ribu dan Batavia Air berkisar Rp 450-500 ribu. Saat peak season harganya bisa mencapai Rp 1 juta bahkan lebih. Kemudian Garuda Airways pun masuk dan menyusul Lion Air dari Denpasar. Setelah Batavia Air bangkrut, rutenya diambil alih Citilink dengan tarif yang tak jauh berbeda dengan Batavia Air.

Dulu ketika rute Malang dikuasai Sriwijaya Air saya lebih memilih naik pesawat ke Bandara Juanda dan dilanjutkan dengan naik bus atau travel. Masa itu harga tiket ke Surabaya bisa separuh dari harga tiket Sriwijaya. Jika naik bus damri dilanjutkan bus kota dan angkot Malang maka ongkosnya sekitar Rp 30 ribu. Jika naik travel maka tarifnya Rp 50-60 ribu tapi enaknya bisa diantar sampai di tujuan dan lebih nyaman. Travel ini melayani hingga pukul 22.00, bahkan jika musim liburan adapula travel yang melayani hingga pukul 23.00 lewat.

Ada banyak komentar tentang bandara Abdulrachman Saleh. Saat penumpang menuju bandara bakal diperiksa oleh para petugas AURI dan diberitahukan rutenya. Saat masuk halaman parkir, maka kendaraan harus benar-benar rapi dan sesuai dengan garis. Jika parkir menceng sedikit, maka peluit akan ditiup dan diminta untuk meluruskan.Awal-awal bandara dibuka, bandara ini sangat sepi. Hanya ada beberapa tempat duduk di luar dan sedikit penjual makanan. Bentuk bandaranya juga sangat sederhana. Lebih mirip aula atau ruang pertemuan kelurahan.

Saat masuk pintu keberangkatan sudah disambut dengan ban roda berjalan barang untuk diperiksa barang bawaan. Di tempat yang sama, penumpang kemudian mengantri untuk check in. Sebelum Garuda beroperasi, hanya ada satu ruang tunggu. Setelah Garuda mengudara di Malang, penumpang Garuda dimanjakan dengan ruang tunggu yang terpisah dari maskapai lainnya. Namun, di bandara baru penumpang Garuda dan lainnya kembali disatukan dan ruang tunggunya nampak lebih sempit. Ruangan check in yang digabung dengan beberapa counter komersil membuat gerak calon penumpang makin terbatas. Atau mungkin hal ini masih sementara karena masih ada bangunan besar di kompleks bandara yang masih dibangun. Alhasil tidak ada penambahan fasilitas di bandara baru kecuali halaman parkir yang lebih banyak dan banyaknya gerai makanan di halaman.

Jika dihitung-hitung, masih mending bandara ala aula karena airport taxnya sangat murah, hanya Rp 6 ribu. Menurut saya dan teman-teman, airport tax di Malang termurah dibandingkan bandara-bandara senusantara. Kini, airport taxnya naik lebih dari 80% alias Rp 11 ribu (data terakhir saya pulang kampung per Oktober 2013). Tentang airport tax dulu saya pernah lupa membayar karena loketnya tidak terlihat jelas dan saya tidak ditanyai saat masuk ke ruang tunggu. Baru saat masuk pesawat saya dimintai bayar Rp 6ribu.

Calon penumpang di Bandara Malang juga berbeda dengan calon penumpang bandara yang sibuk. Jika bandara Cengkareng selalu terlihat padat. Di sini kepadatan baru terlihat 1 jam hingga 30 menit menuju jam keberangkatan. Awal-awal saya menggunakan jasa bandara ini sering keheranan kemana para penumpang jangan-jangan ada informasi pesawat cancel dan saya tidak tahu. Rupanya penumpang baru berdatangan menjelang pesawat berangkat. Terbuai oleh lokasi bandara yang dekat dengan pusat kota, para calon penumpang lebih suka datang mepet. Dulu banyak juga yang meminta jasa porter untuk mengantri check in.

Ada beberapa kisah lucu tentang bandara satu ini. Ban roda berjalan untuk bagasi sering macet sehingga penumpang langsung berebutan mengambil barang saat bagasi diturunkan. Pernah ada kejadian, penumpang sudah menunggu lama di ban roda berjalan, tapi ketika mau dinaikkan, ban roda berjalannya kemudian macet dan kembalilah ke kebiasaan lama. Uniknya meski penumpang ‘brutal’ dan kurang kontrol dari petugas bandara, tidak ada penumpang yang salah mengambil bagasi.

Bandara ini juga kurang ramah terhadap cuaca. Saat saya hendak menghadiri pemakaman paman saya, pesawat tidak berani turun karena Malang sedang hujan deras. Akhirnya kami mendarat di Juanda selama hampir dua jam. Eh setelah pesawat diberangkatkan, hanya perlu 15 menit mengudara dari Juanda ke Malang, sedangkan proses take off-dan mendaratnya sendiri memakan waktu hingga 45 menit. Saat itu rasanya saya sedang sial, kami baru mendarat hampir pukul 17.00 dan ketika jeep hendak meninggalkan kompleks AURI mobil kami dihentikan. Oh rupanya akan ada apel penurunan bendera. Antrian panjang pun kemudian menjalar. Baru kali itu saya mengikuti apel penurunan bendera di kompleks AURI.

Cerita paling konyol dialami sahabat kakak. Ia dan ayahnya sedang asyik berkeliling kota dengan motor. Entah bagaimana mereka bisa masuk kompleks angkatan udara. Melihat jalanan yang mulus dan lebar, teman kakak mulai iseng. Ia memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Tak lama ia dikejar petugas AURI. Petugas tersebut tidak hanya memarahi teman kakak dan ayahnya, namun juga menyuruh mereka push up. Hahaha ada-ada saja.

Meski bandara Malang masih banyak kekurangan, saya menjadikan bandara ini sebagai salah satu tempat favorit yang menghubungkan saya dengan kampung halaman. Bahkan seringkali saya terharu ketika pesawat akan meninggalkan atau menuju kota Malang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun