Pagi tadi, saya berangkat ke kampus dengan tujuan Rapat Harian Lengkap HMJ saya, Himaster –Himpunan Mahasiswa (Teknik) Informatika-.Molor. Begitulah adat pada umumnya yang selalu menjadi ciri khas rapat-rapat serupa di kampus. Sudah saya niatkan berangkat dari rumah pukul 08.15, sampai di kampus pukul 09.05, saya pikir rapat akan segera dimulai. Ternyata dan ternyata masih sepi sekali. Baru beberapa butir saja. 3 orang kakak tingkat saya dan seorang teman seangkatan saya di teras depan gedung B FMIPA UNS.
Menunggu rapat mulai, sambil berdatangannya satu persatu rekan yang apik menerapkan deret fouriernya, mata saya menemukan seorang teman sekelas saya yang bukan pengurus Himaster. Namanya Than Thi Bidan. Ada yang mau bilang namanya unik? Oke bolehlah. Kami biasa memanggilnya Habidan, dia adalah mahasiswa asal Vietnam di kelas saya. Habidan memang berasal dari Vietnam, yang mayoritas di sana bukan orang-orang beragama islam, tapi Habidan itu islam dan berjilbab pula. Oh ya dan teman saya itu adalah pengurus SKI –Syiar Kegiatan Islam- di MIPA. Ramadhan tahun lalu, ketika ospek 2010 itulah kali pertama saya mengenalnya. Sebenarnya banyak cerita darinya soal kehidupan islam di Vietnam tapi mungkin buat di tulisan ini akan saya ceritakan.
Beberapa menit saya ngobrol dengan Habidan. Ada sesuatu yang saya petik. “Habidan, nggak pulang ke Vietnam liburan ini?”
“Nggak, Dewi”
“Lho, apa nggak kangen rumah? Trus kamu pulangnya kapan? Nanti kalau udah lulus ya? hehehe”
“Kalau kangen ya kangen. InsyaAllah semester 4 nanti, Dewi”
“Nggak bisa bayangkan kalau aku. Apa kuat ya nahan kangen sampai tahunan gitu nggak pulang ke rumah. Ya Allah beruntungnya saya yang paling lama hanya sebulan tidak berkumpul dengan keluarga di rumah. Dengan Ibu, Bapak, Deni –adikku- dan Eyang putriku”, gumamku melihat senyum Habidan yang lantas ia bercerita perihal buka bersama sefakultas MIPA yang akan diselenggarakan oleh SKI. Sesungguhnya saya cukup terharu setiap bercerita dengan Habidan yang mahasiswa asing, jauh dari keluarga, sendirian tapi ia aktif juga di organisasi. Luar biasa. Ada keinginan kecil, suatu saat saya yang ada di posisi Habidan. Hehehe.
Seperti rapat-rapat biasanya, begitulah rapat siang tadi berlangsung. Seusai rapat saya putuskan berkumpul dengan teman-teman sekedar ngobrol-ngobrol ringan, memperbincangkan soal Hary Potter, Buka bersama, Ospek dan banyak perihal lainnya yang tak kunjung habis jika dilanjutkan.
Sore tadi, saya putuskan beristirahat di kos, sekedar untuk mandi sebelum pulang ke rumah. Duduk di depan TV membuka isi dompetku yang isinya ternyata seratus ribu saja tak genap. Sedikit menyesal, mungkin akhir-akhir ini saya terlalu boros. Seketika saya ingat pesanan ibu kemarin sore yang bilang “Ndhuk, aku mbok di tumbasne martabak ya” –Ndhuk, aku dibelikan martabak ya”-. Senyum. Saya mengingat tawa ibu kemarin sore, ketika bersama aku dan deni memperbincangkan soal aneka macam martabak. Saya selalu menemukan sesuatu yang hangat di balik obrolan dan candaan bersama ibu. Kadang ibu itu keras egonya, kalau sudah bilang ini ya harus ini. Ada kalanya ibu itu kecil hatinya, kalau saya salah sedikit, beliau bisa marah tapi seketika itu pula beliau lupa pada marahnya. Pun ada kalanya ibu begitu polos bertanya padaku tentang suatu hal yang belum ia ketahui, mendengarkan jawabanku dengan seksama, kontras sekali dengan kerasnya beliau ketika menasehatiku “Ndhuk, ndang turu wis wengi. Pokok’e aja kerep melek bengi-bengi, marai penyakit jumlah darah putih luwih akeh. Ndang turu!” – “Ndhuk cepat tidur sudah malam. Pokoknya jangan sering-sering terjaga kalau malam, bikin penyakit jumlah darah putih lebih banyak”-. Saya tidak tahu bahagaimana ibu tahu perihal itu yang jelas ibu itu ensiklopedi paling pepak yang pernah saya temui dalam kehidupan saya. J
Pukul 17.25 WIB, taman pancasila Karanganyar ramai sekali. Saya berhenti agak pojok barat taman di depan gerobak bapak penjual martabak seraya memesan martabak telur dan duduk tak sabar menanti pesanan saya dan membawanya pulang untuk di santap buka puasa nanti dengan orang-orang tercinta di rumah.
17.50 WIB, rumahku yang hangat terasa hangatnya ketika ayah membukakan pintu masuk saat mendengar deru motorku. Ada senyum menghangatkan di balik wajah tuanya. Kemudian masuk ke rumah, si kecil Deni yang dengan senyumnya melihat bawaan martabak di tanganku , berteriak “Horeee!”. Lalu Ibu dengan Senyumnya paling luar biasa itu, sudah di siapkannya sepiring nasi lengkap dengan daun singkong dan ayam goreng beserta ulekan sambalnya yang khas. “Martabak telur”, sebingkai senyum ku berikan pada wajah-wajah hangat di hadapanku. Beruntungnya aku punya keluarga ini. “Alhamdulillah”, gumamku haru dengan senyum syukur.