Hari itu, Puji duduk di sudut ruangan dengan buku tebal terbuka di pangkuannya. Rambutnya yang hitam panjang tergerai lembut, menutupi sebagian wajahnya yang anggun. Ada sesuatu yang membuatku terpikat padanya, seperti magnet yang menarikku untuk mendekat.
Saat itu, aku memberanikan diri untuk menyapanya. "Hei, buku apa yang sedang kamu baca?" tanyaku sambil menunjukkan senyum terbaikku, berharap dia tidak akan menganggapku aneh.
Dia menatapku sejenak, lalu tersenyum lembut. "Ini buku tentang sejarah seni. Kamu juga suka membaca?"
Kami pun terlibat dalam percakapan panjang tentang buku, seni, dan banyak hal lainnya. Sejak saat itu, aku tahu bahwa Puji adalah seseorang yang istimewa.
Setiap kali kami bertemu, aku merasakan ada harapan yang tumbuh di dalam hatiku. Namun, semakin lama, aku menyadari bahwa harapan itu mungkin hanya sebuah ilusi. Puji adalah gadis yang cerdas dan berwawasan luas, selalu dikelilingi oleh banyak teman yang mengaguminya. Sementara aku, hanyalah seseorang yang berusaha keras untuk bisa sejajar dengannya.
Suatu hari, aku memberanikan diri untuk mengajaknya makan siang. Kami pergi ke sebuah kafe kecil yang nyaman, tempat kami bisa berbicara lebih bebas tanpa gangguan. Di sana, aku memutuskan untuk mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya.
"Puji, aku suka sama kamu," ucapku dengan suara bergetar. "Sejak pertama kali kita bertemu, aku merasa ada sesuatu yang spesial di antara kita."
Dia terdiam sejenak, menatapku dengan mata yang sulit diartikan. "Aku menghargai perasaanmu, tetapi aku tidak bisa memberikan jawaban yang sama," katanya dengan lembut. "Aku masih fokus pada banyak hal lain dalam hidupku saat ini."
Jawabannya membuat hatiku hancur, meskipun aku sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan itu. Namun, aku tahu bahwa aku harus menghormati keputusannya.
Meski Puji menolak perasaanku, aku tidak bisa sepenuhnya melepaskan rasa cinta ini. Kami tetap berteman, dan aku berusaha untuk tetap ada di sampingnya, meski hanya sebagai seorang teman.
Setiap kali kami bertemu, aku terus berusaha menunjukkan bahwa aku adalah orang yang bisa diandalkan. Aku berharap, seiring berjalannya waktu, dia akan melihatku lebih dari sekadar teman. Namun, harapan itu seolah semakin jauh dari kenyataan.
Puji sering bercerita tentang perjalanan hidupnya, impian-impian yang ingin dia capai, dan orang-orang yang menginspirasi dia. Di setiap kisahnya, aku merasa semakin terpesona oleh keteguhan dan semangatnya. Namun, di balik kekaguman itu, ada perasaan perih yang tak bisa kuhilangkan.
Seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa Puji adalah sosok yang terlalu berharga untuk dipaksa menerima perasaan yang tidak dia inginkan. Aku harus belajar melepaskan cinta ini, meskipun itu berarti aku harus mengorbankan sebagian dari diriku.
Pada suatu sore yang cerah, aku mengajak Puji untuk berjalan-jalan di taman kota. Kami duduk di bangku taman, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah kami. Di sana, aku mengungkapkan perasaanku sekali lagi, kali ini dengan ketulusan yang lebih mendalam.
"Puji, aku tahu kita sudah membicarakan ini sebelumnya, tapi aku merasa perlu untuk mengatakannya lagi," kataku sambil menatap ke arah langit biru. "Aku mencintaimu, dan meskipun perasaanku tidak terbalas, aku akan selalu menganggapmu sebagai teman terbaikku."
Puji tersenyum, dan untuk pertama kalinya, aku melihat air mata mengalir di pipinya. "Terima kasih telah jujur padaku. Aku sangat menghargai dirimu sebagai sahabat yang selalu ada," katanya dengan suara lembut.
Sejak hari itu, aku mencoba untuk melanjutkan hidupku. Aku fokus pada karier dan hobiku, berusaha mencari kebahagiaan di tempat lain. Meski cinta untuk Puji tetap ada, aku belajar untuk menyimpannya dalam kenangan yang indah.
Kami masih sering bertemu, dan setiap pertemuan selalu membawa cerita baru. Aku merasa bersyukur karena bisa mengenal Puji, meskipun cinta ini tak pernah tergapai.
Dalam perjalanan hidupku, aku menyadari bahwa cinta tidak selalu harus dimiliki. Terkadang, cukup dengan mencintai dari kejauhan, menghargai setiap momen yang ada, dan memahami bahwa cinta sejati adalah ketika kita mampu merelakan seseorang yang kita cintai untuk bahagia, meskipun itu berarti kita harus melepaskannya.
Melalui hubungan ini, aku belajar banyak hal tentang cinta dan kehidupan. Aku belajar bahwa cinta yang tulus adalah tentang memberi tanpa mengharapkan imbalan, dan bahwa persahabatan sejati bisa lebih berarti daripada sekadar hubungan romantis.
Puji telah mengajarkanku untuk melihat dunia dengan cara yang lebih luas, untuk menghargai setiap detik yang kita miliki, dan untuk berani menghadapi kenyataan meskipun itu menyakitkan. Aku bersyukur karena mengenal dia, sosok yang membuatku menjadi pribadi yang lebih baik.
Dan meskipun cinta ini tak pernah tergapai, aku akan selalu menyimpan kenangan tentang Puji dalam hatiku, sebagai bagian dari perjalanan hidup yang penuh warna dan makna. cerpen ini berasal dari kisah nyata dari penulis