Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Artikel Utama

Merbabu, dari Jembatan Setan hingga Climbing di Tebing Tanpa Pengaman

8 November 2013   13:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:26 11586 10

Sabtu siang tepat pukul 12.00 aku dan kedua orang rekanku akhirnya sampai juga di pasar sapi kota Salatiga, setelah menempuh perjalanan selama hampir 16 jam dari Tangerang dengan menggunakan bus. Disana sudah menunggu lima orang rekan dari salah seorang rekanku yang memiliki tujuan yang sama, yaitu mendaki gunung Merbabu. Persiapan kembali dimatangkan bersama – sama. Setelah semua persiapan selesai, perjalanan kami lanjutkan dengan menyewa angkutan umum menuju posko Cunthel.Ada empat jalur yang bisa dilewati untuk bisa mendaki gunung Merbabu, yaitu melalui jalur Wekas, Chuntel, Selo dan Thakelan. Sekitar setengah jam waktu yang diperlukan untuk sampai ke posko Cunthel.

Di posko Cunthel perwakilan kelompok kami melakukan lapor diri dan membayar administrasi sebesar 2 ribu rupiah untuk tiket masuk perorang. Setelah semua administrasi selesai diurus dan dirasa tak ada yang kurang, pendakian pun dimulai setelah berdoa terlebih dahulu sebelumnya. Pukul 14.00 pendakian dari posko Cunthel di ketinggian 1720mdpl pun dimulai. Track pendakian dari Cunthel diawali dengan melewati perkebunan warga yang didominasi oleh tanaman khas pegunungan seperti wortel, daun bawang, dan kol. Setelah melewati perkebunan warga, jejeran tanaman hutan hujan mulai kami temui. Dengan track yang tidak terlalu sulit di dominasi oleh tanjakan yang tidak terlalu tinggi, akhirnya kami sampai juga di pos 1 Cunthel sekitar pukul 15.30.

Kami memilih beristirahat sejenak sembari mengisi perut yang mulai lapar. Setelah beristirahat selama kurang lebih 15 menit, kami kembali melanjutkan pendakian. Menuju pos 2, track yang kami lewati tak jauh berbeda dengan saat menuju pos 1 tadi. Membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam untuk sampai di pos 2. Menurut info yang di dapat dari posko Cunthel tadi, di pos 2 sebenarnya terdapat sumber air tapi letaknya agak tersembunyi di deretan pohon di luar jalur track. Beberapa orang rekanku mencoba mencari sumber air yang dimaksud untuk tambahan bekal air kami. Tapi ternyata sumber air yang dimaksudkan oleh petugas di posko tak berhasil ditemukan.

Di pos 2 kami kembali beristirahat dan membuat minuman hangat sembari menikmati senja yang perlahan merangkak naik dari sela – sela pepohonan. Teh manis hangat, coklat panas dan susu coklat serta ditemani dengan roti tawar menjadi pilihan kami sejenak melepas lelah sore itu. Pukul 19.00 malam perjalanan mendaki gunung Merbabu kami lanjutkan kembali. Menuju pos 3 dan pos 4 track yang kami lewati agak berbeda. Pepohonan sudah agak jarang di sisi kiri dan kanan track dan lebih di dominasi oleh bebatuan besar di sepanjang lintasan track. Kami bahkan masih bisa melihat pemandangan kota Salatiga di malam hari dengan hiasan lampu – lampunya. Terlebih malam itu cuacanya sangat cerah, ribuan bintang menemani langkah kaki kami mendaki.

Pukul 22.00 malam akhirnya kami sampai juga di pos 4 atau dikenal juga dengan pos pemancar. Tim memutuskan untuk mendirikan tenda di sana. Ada dua tenda yang kami dirikan malam itu. Aku dan tiga orang rekanku memilih langsung tidur begitu tenda kami selesai didirikan. Sementara penghuni tenda satunya memilih menghangatkan tubuh mereka dengan membuat minuman hangat, serta memasak telur dan sardines yang mereka bawa. Angin kencang serta udara pegunungan yang dingin sempurna menenggelamkanku di dalam sleeping bag yang aku bawa. Bahu serta kaki yang pegal membuat tidurku malam itu tak begitu nyenyak. Meski demikian aku terus berusaha memejamkan mataku dan mengistirahatkan tubuhku agar bisa kembali melanjutkan pendakian esok harinya.

Pukul 05.00 pagi, mataku sudah menuntut untuk dibuka. Terlebih bahu dan kaki yang nyeri memaksaku untuk tidak lagi menutup mataku. Kabut tebal ditambah angin kencang yang bertiup serta udara dingin membuatku mengurungkan niatku untuk keluar dari sleeping bag yang aku kenakan. Butuh waktu sekitar setengah jam sebelum akhirnya aku memberanikan diri untuk keluar dari sleepingbang yang membungkus tubuhku dengan hangat. Satu persatu penghuni tenda terbangun. Meski harus menahan terpaan hawa dingin, kami memulai pagi kami dengan membuat minuman hangat dan memasak sarapan pagi. Seorang rekanku yang memang sudah pernah kesana memutuskan untuk mencari sumber air dan menambah bekal air kami.

Chicken nugget goreng, kering tempe, cumi asin hip dan balado teri menjadi menu sarapan pagi kami hari itu. Setelah sebelumnya kami juga mengganjal perut kami dengan roti goreng mentega yang diisi keju. Bisa dibilang “mewah” untuk ukuran sarapannya para pendaki di atas gunung. Tak lupa kami juga membuat bekal makanan kami sebelum berkemas lagi. Roti tawar yang dioles mentega dan gula putih serta omelete mie menjadi menu bekal kami. Setelah selesai sarapan, kami lalu membereskan lagi barang bawaan kami dan berkemas untuk kembali melanjutkan pendakian menuju puncak Merbabu.

Pukul 12.00 siang pendakian kembali di lanjutkan. Mengingat track yang akan kami lalui menuju puncak bisa dibilang cukup terjal, akhirnya di putuskan untuk meninggalkan cariel yang kami bawa di tugu perbatasan, yaitu tugu yang merupakan batas wilayan antara kota Salatiga dengan Magelang. Dan aku rasa keputusan untuk meninggalkan cariel di tugu perbatasan itu adalah keputusan yang tepat. Sebagian besar track menuju puncak Merbabu didominasi oleh track yang terjal, berupa bebatuan besar dan tak jarang di kiri dan kanannya berbatasan langsung dengan jurang. Belum lagi hempasan angin kencang dan kabut tebal yang membatasi jarak pandang kami.

Tim memutuskan untuk beristirahat sebentar di persimpangan antara puncak Syarif dan track menuju puncak Kentheng Songo. Gunung Merbabu sendiri memiliki 7 puncak gunung yang tingginya berbeda – beda. Tapi yang paling banyak dikunjungi adalah puncak Syarif  (3119mdpl)dan puncak Kentheng Songo (3142mdpl). Sepuluh menit beristirahat, pendakian menuju puncak Kentheng Songo kami lanjutkan kembali tanpa mampir ke puncak Syarif, karena jalurnya berbeda. Aku benar – benar tidak menyangka jika untuk menuju puncak Kentheng Songo track yang aku lalui semakin berat dan ekstrim menurutku.

Aku sebenarnya adalah orang yang takut pada ketinggian, entah dari mana asalnya aku malah memiliki ketertarikan pada puncak gunung aku sendiri tidak tahu. Yang ada dihadapanku selanjutnya adalah track yang dikenal dengan nama “Jembatan setan”. Tracknya berupa jalur panjang mengitari bukit yang di sebelah kirinya berbatasan langsung dengan jurang dan sebelah kanan berupa tebing. Aku langsung mundur dan mengatakan ketakutanku melewati track jembatan setan. Seorang rekanku lantas menunjukkan track lain yaitu dengan menaiki bukit tersebut untuk menuju bagian bukit sebelahnya. Happy dan aku memutuskan untuk menaiki bukit untuk sampai di sebrang bukit tersebut daripada harus melewati jembatan setan.

Diluar dugaanku, track yang kami pilih justru lebih membahayakan keselamatan nyawa kami. Begitu sampai di atas bukit, angin kencang tak henti menerpa tubuh kami. Hanya ada jalan setapak yang hanya cukup dilewati untuk satu orang saja dan berbatasan langsung dengan jurang disisi kanan dan kirinya. Bisa dibayangkan bukan? Ini justru lebih membuat kakiku gemetaran. Baru beberapa langkah berjalan diatas bukit, dua orang rekanku menyusul kami dengan menaiki sisi bukit sebelahnya. Agung meminta kami untuk mundur dan kembali turun lantaran tracknya sangat sulit untuk bisa menyebrangi bukit, sementara Ade mengusulkan agar kami melanjutkan perjalanan.

Aku tak heran kenapa Agung akhirnya meminta kami mengurungkan niat kami. Di depan kami ada sebuah batu besar dengan posisi miring yang terletak tepat di jalur jalan setapak yang akan kami lewati. Melihat itu aku hanya bisa menggelengkan kepalaku dan tak henti menyebut namaNya, memohon perlindungan kepada Sang Maha pemilik hidup. Kami mesti melangkahi batu besar itu agar bisa melanjutkan langkah kaki kami, sementara di sisi kanan dan kiri kami adalah jurang ditambah hempasan angin kencang. Perlahan akhirnya kami bisa juga melewati batu besar itu. Tak cukup sampai disitu, untuk menuruni bukit itu pun rupanya tidak mudah. Dengan kemiringan nyaris 90 derajat, kami mesti bisa menuruni bukit hanya dengan berpegangan pada sebuah akar pohon. Tak ada undakan tanah ataupun batu yang bisa kami gunakan untuk pijakan kaki. Setelah diberi contoh oleh Ade, akhirnya aku dan Happy bisa juga menuruninya.

Track selanjutnya tak kalah ekstrimnya. Climbing di tebing yang hanya cukup untuk kaki berpijak tanpa alat bantu sama sekali dan berbatasan langsung dengan jurang di bawahnya. Lagi – lagi aku hanya bisa berdo’a memohon keselamatan pada Sang Maha pemilik hidup. Setiap langkah demi langkah yang dicontohkan oleh Ade aku perhatikan dan aku ikuti. Pegangan tangan yang kokoh dan langkah kaki yang mantap akhirnya mampu mebuatku melewati track itu. Pukul 14.45 sore akahirnya aku dan ketujuh orang rekanku sampai juga di puncak Kentheng Songo di ketinggian 3142mdpl. Tak banyak pemandangan yang dapat kami lihat. Kabut tebal menyelimuti kawasan gunung Merbabu dan membatasi jarak pandang kami. Kami juga mengunjungi puncak Trianggulasi yang berada hanya sekitar 300 meter dari puncak Kentheng Songo. Puas berfoto – foto, kami memutuskan untuk segera turun dikarenakan kabut yang semakin tebal serta angin kencang dan tanda – tanda akan turun hujan.

Kali ini aku memutuskan untuk melewati Jembatan setan. Meski nyatanya aku benar – benar ketakutan dan memilih untuk berjalan lebih menjorok ke sebelah kiri dekat tebing. Hujan mengguyur kawasan gunung Merbabu sesaat setelah kami melewati jembatan setan. Kami mesti lebih berhati – hati karena bebatuan dan tanah yang kami pijak menjadi lebih licin. Dikarenakn angin yang semakin kencang dan hujan semakin deras, tim memutuskan untuk beristirahat sejenak dan membuat tenda sementara di tugu perbatasan tempat kami menyimpan barang bawaan kami tadi. Pukul 19.00 malam kami baru melanjutkan lagi perjalanan kami menuruni gunung Merbabu melalui jalur Wekas.

Penerangan yang minim serta jalur yang licin sedikit memperlambat langkah kaki kami. Tak terhitung berapa kali aku terpeleset dan jatuh bahkan sampai terguling. Pukul 23.00 malam akhirnya kami sampai juga di posko Wekas. Kami menumpang di rumah salah seorang warga yang memang sudah terbiasa dijadikan posko penginapan oleh para pendaki gunung Merbabu. Pagi hari pukul 09.00 kami baru meninggalkan Wekas dan bergegas menuju terminal Salatiga untuk kembali ke Tangerang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun