Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Meretas Harapan... (Pondok Sehat # 3)

4 Januari 2011   19:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:57 115 0

Senja yang indah di desa rangkat. Banyak yang tak kuduga terjadi dalam hidupku. Aku mulai menemukan kembali harapanku, harapan akan adanya sebuah pusat pelayanan kesehatan sederhana di desa ini. Sederhana, ya cukup diawali dengan yang sederhana dan semogabisa memberikan manfaat bagi seluruh warga. Aku tak menyangka jika k d-wee merespon dengan sangat luar biasa lontaran ide yang aku berikan, sebenarnya berkat semangat yang diberikan jeng pemi yang membuatku kembali bangkit.

Sepulang menemui k d-wee diwarnet tante Da tempatnya tinggal, aku langsung bergegas masuk ke dalam kamarku. Ku keluarkan sebuah map kuning dari dalam laci lemari yang ada di samping tempat tidurku. Ku teliti satu demi satu isinya. Ijazah, SIAA (surat izin asisten apoteker), surat sumpah AA, akte kelahiran, semua sertifikat dari pelatiihan yang pernah aku ikuti, dan ada beberapa lembar foto terbaru aku sebelum pindah ke desa ini.

“Semoga berkas – berkas ini cukup, bisa jadi modal awal” ucapku pada diriku sendiri. Saat tengah sibuk membereskan semua berkas itu, terdengar bunyi suara ketukan pintu kamarku.

“Tok… tok… tok… dewa….” Panggil jeng pemi.

“Iya jeng, masuk aja gak dikunci”. Pintupun terbuka, dan sosok jeng pemi segera masuk ke dalam kamarku.

“Gimana dewa ?” tanyanya penasaran sambil duduk di atas tempat tidur, tepat di sampingku. Aku memberikan senyum terbaikku padanya. Tak ragu, kupeluk jeng pemi sebagai ungkapan rasa terima kasihku yang tak terhingga padanya. Ia membiarkanku memeluknya, ada tangis di antara bahagia itu, tangis bahagia tepatnya.

“Makasih banyak ya jeng udah mau bantu aku, dan untuk semua yang udah jeng kasih selama ini” ucapku lirih sambil melepaskan pelukanku padanya. Jeng pemi menyeka air mataku dengan tangan lembutnya.

“Udah kewajiban aku, kewajiban kita sebagai sesama manusia untuk bisa saling membantu” ucapnya penuh dengan rasa perhatian padaku. Semakin takjub aku akan desa ini, sarat dengan cinta, sesuai dengan motonya, asah, asih dan asuh.

“Aku sempat merasa Tuhan gak sayang sama aku, setelah dia mengambil Ayah dan Ibu dalam rentang waktu yang dekat” ucapku tertahan sambil menyeka air mataku kembali.

“Tapi rupanya ini rahasia dibalik peristiwa itu, puji syukur yang tak terhingga selalu aku ucapkan padaNya” lanjutku lagi. Jeng pemi mengangguk mantap, pertanda dia setuju dengan pendapatku.

“Terus ini apa?” tanyanya saat melihat map kuning yang aku pegang.

“Ini ijazah sama berkas yang lain jeng, yang mungkin nanti di butuhin”. Jeng pemi sesekali menganggukkan kepalanya saat mendengar penjelasanku.

“terus renacananya kapan mau mulai ?” tanyanya lagi.

“Rencananya besok mau ketemu pak Kades sama bu Kades, minta pendapatnya sekalian minta izin buat pondok sehatnya” jawabku antusias.

“Masalah tempat gimana ?” semakin antusias juga jeng pemi bertanya.

“K d-wee mau minta izin sam om Tam, mau make lahan di samping warnet tante Da” jawabku.

“Sekarang sih mau nyoba nanya – nanya dulu sama dosen yang kebetulan jadi ketua PAFI seputar perizinan yang berhubungan sama obat – obatan yang nanti di adain di pondok sehat, skalian nanya sama temen – temen yang udah kerja di apotek” lanjuktu kemudian. Jeng pemi tersenyum dan memperlihatkan wajah cantiknya, pertanda ikut merasakan kebahagiaan yang aku rasakan.

“Semangat ya dewa” ucapnya sambil mengepalkan tangan kanannya sebagai kobaran semangat padaku.

“Semangat!” balasku sambil melakukan hal serupa. Seusai memberikan semangat padaku, jeng pemi pamit mandi, mau ketemuan sama mas Hans katanya. Terbersit doa semoga hubungannya akan selalu langgeng.

Aku mulai mencari – cari informasi sebisaku. Kuhubungi salah satu dosenku yang kebetulan menjabat sebagai ketua PAFI (Persatuan Ahli Madya Farmasi), beragam pertanyaan kulontarkan padanya. Bersyukur dia mendukung rencananku, satu lagi kekuatan semangat yang aku peroleh. Aku melanjutkan pancarianku dengan menghubungi beberapa rekanku, bertanya tentang penyediaan obat – obatan di klinik atau apotek tempat mereka bekerja. Menurut informai yg mereka berikan, untuk pembelian pertama obat harus dibeli dengan COD (cash on delivery). Pembayaran tunai saat obat datang, tapi selanjutnya bisa dilakukan dengan kredit.

Tapi info itu saja ku rasa belum cukup, daftar nama distributor obat belum ku punya. Formulir pembelian barangpun belum ku ketahui wujudnya. Belum lagi masalah pencatatan laporan dan administrasi lainnya. Rencananya baru akan kuminta pada salah seorang rekan kuliahku lusa, aku akan menemuinya di apoteknya.

Setelah mendapat informasi dari mereka dan kucatat poni – poin pentingnya, aku mencoba mencerna informasi itu satu demi satu.

“Mesti di bayar lunas kalo beli pertama kali, gimana ya?? Ada yang mau bantu dananya gak ya?” fikirku kini.

Semua data yang kuperoleh kusimpan dalam map kuning bersama dengan persyaratan yang lain, sementara map merah yang berisi coretan – coretan awalku tentang pondok sehat masih disimpan k d-wee dan akan ditunjukkan kepada pak Kades dan bu Kades besok. Berharap mereka semua mau membantu kami mewujudkan pondok sehat.

“Membangun adalah awal yang sulit, tapi mempertahankan akan jauh lebih sulit…” kalimat k d-wee itu terus terngiang dalam otakku, harapan besar akan adanya konsistensi dalam mempertahankan semangat yang kami bangun.

*Mencoba membangun Pondok Sehat dalam imajinasi.....*

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun