DN Sarjana
"Kau suka sekali menyalahkan! Cobalah mencari penyebab kesalahan itu. Pernahkah kau sadari? Jangankan menyadari merasakan saja kau tidak. Bagaimana lalu aku disuruh meminta maaf? Bagaimana?" Rara sekuat tenaga melepas cengkraman tangan Frengky yang sedari tadi begitu kuat di jemari Rara. Frengky tak ingin Rara pergi menjauh dari sisinya.
Udara yang begitu panas dan gerah di Bulan Oktober ini, menambah gerah hati mereka berdua. Mana mungkin hanya soal kecil menjadikan mereka tidak bersua berbulan-bulan? Jangankan bertemu, mengirim kabar lewat hp saja mereka tak sudi.
Hingga pertemuan saat itu seperti luapan panas yang telah lama tertahan. "Kalau aku sejelek yang kamu bilang, mengapa begitu lama waktu untuk mencintaiku? Mestinya semusim saja kau bisa membaca bercak kotor di tubuhku." Kata Rara memecah kebisuan dan kemarahan Frengky.
Frengky dengan sorot mata tajam lalu menjawab. "Bukan kali ini saja aku menaruh curiga padamu Rara! Sudah lama. Semenjak kau bertugas bersamaan di kantor keuangan itu."
"Oh, hanya dengan curiga? Mudah dan bodo amat pikiranmu Frengky. Bagaimana sebaliknya. Aku bilang tidak senang padamu bukan dengan curigaku, tapi mata kepalaku sendiri melihat. Kamu bermesraan di Pantai Sanur. Bukankah itu lebih logis daripada kamu hanya dengan curiga saja?"
Rara berusaha menahan air matanya. Dihadapan Frengky, kali ini Rara tegar. Ia tidak ingin dilihat sebagai perempuan lemah dan penuh harap.
Prengky menarik nafas panjang. "Lalu maumu apa?"
"Terserah apa maumu Frengky. Aku perempuan, sadar di posisi yang lemah. Tapi untuk urusan kali ini, aku berusaha tegar apapun yang kan terjadi," jawab Rara sambil mengusap pipinya. Rupanya air mata yang sedari tadi berusaha ditahan harus menetes pula.
Frengky menunduk dan terdiam. Tangannya bergerak-gerak seperti ada kesalahan yang terpendam. Suasana panas masih terasa. Walau semilir angin di tepi sawah ini sesekali berembus.
"Rara, minum dulu es jeruknya. Mungkin jalan terbaik sementara waktu kita perlu merenung. Biarkan waktu berjalan."
"Ok, kalau itu pilihanmu. Tapi Frengky, jangan salahkan aku, bila peristiwa terburuk kita alami. Tapi mohon diingat, semua bukan karenaku."
Pastinya dengan perasaan sedih, mereka harus berpisah. Hidangan yang tersaji di rumah makan tepi sawah, masih tersisa utuh. Rara dan Prangky sepakat membawa luka masing-masing.
Akankah selamanya perpisahan ini berjalan?