DN Sarjana
Sudah seminggu, Melani melatih hidup dalam kesendirian. Tentu situasi seperti ini bukan sesuatu yang mudah. Biasanya suara lelaki memanggil di pagi hari, mengingatkan Melani menghadirkan wedang jahe di atas altar. Lelaki itu akan duduk manis memakai sarung kesukaannya.
Dan yang tidak Melani bisa melupakannya lelaki itu pasti menyempatkan diri membaca buku filsafat kesukaannya. Entah karena umurnya yang sudah tua, delapan puluh tahun atau lelaki itu memang suka semenjak dulu.
Kenapa pagi ini kerinduan itu begitu membuncah. Tiga puluh tahun mengarungi hidup bersama tentu tidak pendek. Banyak suka duka yang dijalani.
"Mela, baiknya kita harus mencari rumah kontrakan. Perutmu yang kian membesar perlu suasana yang lebih tenang," kata lelaki itu.
Kalimat itu yang masih melekat dalam pikiran Melani. Ia hanya heran saja, mengapa suaminya Satrio, mengajakku mencari rumah kontrakan? Bukankah di rumah yag luas ini aku istrinya sudah merasa tenang?
"Bapak, aku tidak mengerti perkataanmu. Aku tidak ada masalah tinggal di rumah ini. Orang tua Bapak baik-baik saja. Akupun tidak disuruh mengambil pekerjaan berat."
Memang ditempat tinggal Melani, berdampingan dengan usaha roti milik mertuanya. Bagi Melani dan Satrio, soal makan dan kebutuhan lain tidaklah kekurangan.
*****
Seiring perjalanan waktu ternyata Satrio suami Melani, hanya ingin hidup mandiri. Kelahiran anak pertama Ayuning, usaha camilan bermacam jenis kue sudah nampak banyak pelanggan. Melani terkadang merasa malu melihat suaminya berkeliling membawa motor untuk mengedarkan kue.
Hingga suatu hari kami sepakat mencari pembantu untuk bekerja diperusahan.
"Au setuju saja Pak. Aku tak ingin juga Bapak terlalu payah," jawab Melani ketika suaminya Satrio mencari pekerja.
Seorang perempuan bernama Rosali cukup melancarkan usaha kami. Perusahanpun makin berkembang. Satrio tidak lagi membawa motor mengedarkan dagangan. Dia sudah mampun membeli sebuah mobil box.
*****
Prahara itu tidak bisa dihindari. Berita miring tentang suaminya selingkuh dengan Rosali santer terdengar. Tetapi Melani tidak emosi menanggapinya. Sampai suatu saat.
"Pa, sebelumnya aku minta maaf. Aku dengar Bapak mulai memberi perhatian lebih terhadap Rosali. Coba jawab yang jujur."
Namanya laki-laki, ditanya bahkan seolah dituduh seperti itu, Satrio marah besar. Seolah isi rumah yang baru saja lunas dibayar ikut bergetar menahan kemarahan Satrio.
Mulai saat itu hubungan Melani dengan suaminya Satrio mulai renggang. Hingga akhirnya mereka harus pisah rumah.