DN Sarjana
"Hujan Januari tak datang sendiri ia membawa dingin dan menoreh pilu ketika sayatan rindu membuat ia membisu
Hujan Januari tak datang sendiri. Tak jua dengan dirimu yang tak mau tepati janji. Membiarkan aku sendiri. Untuk apa menanti. Hanya menambah luka hati."
Di tengah derasnya kucuran hujan, ibu Padma menggores kenangan itu dalam bait syair. Bayangan peristiwa yang membuat luka hati yabg mendalam ketika ia harus kehilangan orang yang paling ia cintai.
Ibu Padma masih terngiang ketika tubuh yang terbujur kaku, diturunkan dari bade. Terbungkus kain warna kuning dan putih, lalu di gotong ke tempat perabuan.
Sepasang mata perempuan paruh baya berdiri termangu tidak jauh dari perabuan. Berbalut pakaian hitam dan dikepalanya terselip kain putih, perempuan itu memandangi rangkaian upacara.
Setelah upacara selesai, perempuan itu mendekat bersama keluarga yang lain. Mereka berdoa. Sisa nyala dupa lalu dimasukkan ke perabuan.
Bersama lelehan air mata dipipinya, suara gemuruh terdengar. Tampak jilatan api meliak-liuk membakar jasad. Sedikit terlihat sebagian tubuh mulai gosong.
"Yang sabar ya mama. Papa sudah pergi dengan damai. Papa tidak sakit lagi. Papa sudah tenang di sampingNya" Suara Tantri terdengar lembut. Tantri memegangi tangan mamanya.
Gadis cantik itu tiada lain sulung dari ibu Padma. Ia berusaha tegar. Tantri tidak ingin ibunya terkurung dalam kesedihan yang membuncah.
Tak sepatah katapun terucap dari bibir ibu Padma. Pastinya ia belum siap ditinggal oleh suaminya Suganda. Baginya Suganda adalah lelaki yang paling setia menemani hidupnya.
Kalau saja Suganda mendengarkan nasehat istrinya, mungkin ibu Padma tidak sendirian seperti sekarang ini.
Saat peristiwa itu terjadi Suganda sedang mengantar tamunya berwisata ke Kuta. Perjalanan ke Kuta lewat Kerobokan memang sangat padat.
Entah seperti apa peristiwanya, yang pasti di awal Januari itu Ibu Padma sangat terkejut ketika mendapat berita suaminya sudah masuk rumah sakit.