DN Sarjana
Gadis manis itu masih termangu. Ia berdiri di tepi pantai. Dipegangnya kuat-kuat payung yang menutupi kepalanya. Hujan deras disertai tiupan angin, sesekali menghempas payung, hingga mengganggu tatapannya.
Sepuluh menit lagi tahun akan berganti. Gadis itu terlihat gelisah. Waktu kan tiada berhenti, tapi mengapa yang ia tunggu tak menampakkan jejaknya? Adakah kekecewaan itu terulang kembali.
"Fitri, baiknya kita duduk dulu. Hujan makin deras. Lumayan waktu tersisa!" Ajak Rara memegang tangan Fitri. Tanpa bicara Fitri menuruti permintaan Rara.
Mereka mencari salah satu restauran di pinggir pantai. Mengambil tempat duduk di pojok barat, agar bisa lepas menatap ke pantai.
"Kau pesen apa Fitri?" Rara bertanya sambil membolak balik daftar menu di atas meja.
"Terserah maumu."
Kelihatan Fitri tak begitu gairah menikmati menu yang tersaji. Ada jus fokat, humberger dan kentang goreng keju. Tatapannya jauh. Terlihat gelisah menunggu seseorang yang dirindukan.
"Andai kamu diposisi seperti aku, apakah bisa menahan emosimu Ra?" Tiba-tiba Fitri berucap sangat serius. Rara menjadi salah tingkah dan habis fikir tuk menjawab.
Rara sadar Fitri sedang galau. Rara coba menjawab walau seenaknya.
"Nggak tahulah Fitri."
"Jawabanmu semudah itu Ra!" Fitri memandangi Rara. Rara jadi salah tingkah dan malu. Tapi ia berusaha tenang.
"Sepertinya aku biasa saja. Apalagi aku tak pernah mengalami."
Lama terdiam, Fitri menunjukkan pribadi yang gelisah. Beberapakali ia membolak balik hanpone di tangannya. "Ternyata pilihan Rara itu lebih bagus. Ia tetap sendiri walau usia menginjak dua puluh tahun," pikir Fitri.
"Maaf ya Rara. Aku memaksa kamu menjawab seperti pikiranku. Ternyata pilihanmu lebih baik."
Rara terdiam. Ia merasa kasihan kepada Fitri. Rara berusaha mencari jawab agar Fitri tak larut dalam kesedihan.
"Fit, aku juga minta maaf karena jawabanku tak memuaskanmu. Soal pilihan hidup, aku tahu kamu terpaksa menjalani sesuatu yang baru. Kita kan sama-sama dari sekolahan. Cuman saat ini kita beda jurusan dalam kampus yang sama."
Setelah Rara mengakhiri ucapannya, Fitri seolah mengingat kembali masa lalu.
Ketika ayahnya meninggal, Fitri satu-satunya anak yanh ditinggal, merasa sangat kehilangan. Apalagi ia sudah menginjak bangku kuliah. Begitu banyak tugas yang didapat. Belum lagi memikirkan ibu yang harus membiayai dari uang pensiun ayahnya saja.
Dalam situasi seperti itu, kehadiran seorang pria, sepertinya bisa menggantikan peran ayahnya.