Elsa Gadis Difabel
DN Sarjana
Elsa menatap jauh. Tatapan matanya seolah kosong. Sepertinya air matanya mau keluar. Terlihat matanya sahdu memerah. Kalau saja John tidak memanggil namanya, tentu lamunannya akan lebih lama.
"Elsa. Good morning. Kamu sehat bukan?" Tiba-tiba John berada disamping Elsa. Dengan sigap ia menyodorkan susu hangat kepada Elsa. Elsapun mengambil sambil membalikan korsi rodanya.
"Terimakasih atas kasihmu pagi ini John. Aku baik-baik saja." John adalah suaminya yang baru dinikahi setahun lalu. John berkebangsaan Australia. Ia seorang foulentir kemanusiaan yang bertugas di Indonesia.
Pertemuan Elsa dengan John tidak terlepas dari seringnya John berkunjung kepanti sosial tempat Elsa menjalani hidupnya sebagai gadis difabel.
Elsa berusaha menyembunyikan masa lalunya. Tiga puluh tahun lalu. Elsa tidak mungkin melupakan peristiwa yang menyakitkan. Ketika itu Elsa masih berumur 7 tahun. Ia masih ingat pergi berwisata bersama ayah ibu. Elsa berboncengan. Entah apa yang terjadi, motor yang ditumpangi tertabrak kereta api. Elsa tidak ingat peristiwa berikutnya. Cuman ia sadar sudah berada di rumah sakit.
Kurang lebih tiga minggu di rumah sakit, Elsa makin menyadari salah satu kakinya sudah tidak ada. Sementara kaki yang satu tidak sempurna lagi.
Yang sangat membuat Elsa terpukul, ayah ibunya meninggalkan Elsa selamanya. Jadilah dia anak yatim piatu dengan kondisi tubuh yang cacat.
Awalnya Elsa dititipkan pada keluarga ibunya di desa. Sebagai gadis cacat Elsa sangat susah menjalani hidupnya. Kebetulan bibinya berjualan angkringan. Elsa mendapat tugas mencuci piring. Pekerjaan yang memang tidak banyak bergerak.
Suatu hari, "Elsa.., kau apakan piring itu? Awas kalau banyak pecah." Teriak bibinya dari warung depan. Bibinya melihat kebelakang. Terlihat Elsa tertelungkup. Piring berserakan dan banyak yang pecah.
"Elsaaa, apa-apaan ini? Piring-piring kau pecahkan! Dikira murahya." Bibinya ngomel. Jangankan membangunkan Elsa, justru bibinya menyiramkan air ke tubuh Elsa. Elsa tidak bisa menghindar, karena ia tidak bisa berdiri.
"Kalau begini terus, mulai besok bibi tidak mau mengajak kamu lagi. Silahkan nanti aku antar kamu ke panti asuhan. Bibi sudahbtak kuat."
Elsa menangis sambil perlahan berusaha bangun dengan berpegangan di kaki rak piring. Ia berusah mengambil tongkat yang terlempar. Diusapnya air mata yang tiada henti meleleh.
"Bi, maaf. Diapakanpun Elsa tidak akan menolak. Elsa tidak mampu membela diri. Asal nyawa Elsa tidak hilang sia-sia seperti ayah ibuku." Sampai disitu Elsa menjerit. Hatinya yang hancur tidak mampu ian tahan. Ingin rasanya ia mencari ayah ibu agar bersama disisinya.
Malam, 11 11 23
BERSAMBUNG