DN Sarjana
"Kok soal itu saja ibu ributkan? Peristiwa sudah terlalu lama diingat dan diungkit lagi. Bukankan kita tetap damai dan rukun-rukun saja? Sudahlah. Biarkan Tuhan yang tahu segalanya."Begitu aku mengajak istriku tetap tenang.
Memang, apa yang mereka katakan tentang diriku dan keluarga, terlalu menyakitkan. Tapi karena aku terbiasa difitnah, dihujat, dinistakan, aku lebih tahan dan dewasa menghadapi. Terbukti aku dan keluarga hidup rukun, damai, dan rejekipun tidak menjauh.
Dengan berbagai bujukan, ternyata istriku tetap tak mau terima. "Pa, bukan semata harga diri. Tapi sakit hati mama tak mau menjauh bila suara yang merendahkan kita tidak saya temukan." Istriku tetap bersikeras.
Sambil menyetrika baju anak-anak untuk sekolah besok, istriku terus mengajak diskusi.
"Pa, aku tahu, papa juga kesel, marah. Tapi aku tahu papa pintar menyembunyikan. Dan aku sangat yakin tidak ada menilep dana perusahan yang papa pimpin. Saya yakin itu." Kata istriku sambil mengusap keringat di keningnya.
"Syukurlah mama meyakini itu. Itu yang terpenting bagiku."
"Tapi pa. Papa tidak semestinya dipindah pada bidang lain yang papa tidak kuasai. Kan kinerja papa jadi tidak bagus."
"Sudahlah, nggak usah dipikir. Mama tahu saya orangnya suka belajar. Saya akan belajar lagi. Papa olah raga dulu ya."
Istriku mengangguk. Tapi dari bibirnya tetap berucap, ia tidak terima apa yang menimpa suaminya. Ia kasihan pada suaminya yang begitu polos. Begitu teganya orang memfitnah suamiku. Begitu kata terucap sambil menggeruti.