DN Sarjana
Perempuan itu duduk termenung. Entah deburan ombak keberapa dia tetap tak beranjak. Dia tidak hirau keramaian pengunjung. Kedua kakinya menjulur ketepian tebing. Sesekali air laut membasahi kakinya. Suara ombak terpecah karena benturan batu karang, tak juga meluluhkan lamunannya. Beruntung daun ketapang memayungi wajahnya yang sedikit memerah karena sinar mentari menyusup dari daunnya yang rimbun.
Senja di pantai Batu Bolong sudah tampak. Matahari sebagian menyelinap dibalik batu karang. Orang-orang bergegas meninggalkan pantai. Air laut terasa makin dingin. Seorang lelaki memakai kamben, berbaju putih penuh tatap memperhatikan perempuan yang sedari tadi masih belum berpindah dari tempat semula. Lelaki berambut putih, mungkin usianya sudah memasuki kepala tujuh, tidak tega membiarkan perempuan itu sendiri. Pelan-pelan dia menghampiri. Sambil memastikan perempuan itu masih bisa diajak bicara.
"Gek, ini sudah mau malam. Baiknya bersiap pulang. Tempat ini sudah sepi". Belum sempat melanjutkan, perempuan itu menoleh dan tiba-tiba dia berdiri lalu menjerit, berlari kecil memeluk lelaki tua.
suara tangisnya pecah sesegukan, perempuan itu berkata histeris.
"Ajak tiang Bapa Mangku. Ajak tiang". Sepatah ucapan yang keluar, sambil menggoncang-goncang tubuh lelaki tua. Dia sangat terkejut. Tidak mengerti apa sesungguhnya yang terjadi pada perempuan ini. Ia mencoba menenangkannya.
"Nak, tenang. Mohon hentikan tangismu. Bapa siap membantumu".Perempuan itu terus menatap Bapa yang ada di depannya.
"Terimakasih Bapa Mangku. Kalau tidak Bapa yang menolong, entah apa yang terjadi pada diri Gek. Mohon ajak Gek kerumah Bapa Mangku. Mohon Bapa". Perempuan itu memelas, sambil mengkatupkan kedua tangannya. Tatapannya tajam pada Bapa Mangku.
"Kalau itu permintaan nak, Bapa bersedia. Tapi Bapa jalan kaki. Rumah Bapa tidak jauh dari sini. Mari kita jalan. Minum air dulu. Ini Bapa bawa tadi dari rumah".
Begitulah malam sehari menjelang purnama, perempuan itu menjadi bagian dari keluarga Bapa Mangku Enjung dan Biang Mangku. Beliau dipanggil mangku Enjung karena jadi pemangku di Pura Enjung dipinggir pantai itu. Kehadiran Gek Dwi di rumah Jro Mangku disambut bahagia oleh keluarga Jro Mangku. Apalagi Biang Mangku. Beliau dari awal perkawinan pingin sekali memiliki anak perempuan. Namun takdir hanya memberikan dua anak laki, yang semuanya sudah berkeluarga. Mereka semua sudah punya rumah, ngarangin di tempat lain.
"Kayeh malu Gek. Biyang sudah siapkan makan malam. Yah, sekedar masakan orang tua di desa".