Bunyi klakson kapal sudah terdengar. Penumpang banyak yang mengambil tempat duduk. Mereka tampak terlihat kusuk, sambil komat-kamit berdoa. Pelan-pelan kapal terasa bergerak. Aku berdiri dan berjalan kepinggir badan kapal. Aku melihat pelabuhan Gilimanuk kian menjauh. Koridor jembatan yang membawaku sampai dikapal terlihat mengecil. Bukit disebelah terlihat seperti ada kabut. Pandanganku nelangsa. Rasa berat meninggalkan tanah kelahiran bergelayut lagi. Aku menerawang jauh. Terasa air mata mau tumpah. Aku berusaha menahannya. Aku mengalihkan pandangan kelaut. Terlihat riak gelombang biru samudra nan luas, ditimpali buih-buih putih. "Seperti laut luas inikah perjalanan hidupku di rantau nanti?", pikir Arya dalam hati.
Memilih kuliah jurusan pertanian di Jawa, sama sekali bukan keinginan Arya. Dia sudah tahu betapa jurusan ini tidak menjanjikan apa-apa dalam menjalani kehidupan kelak. Arya tidak jauh melihat bukti, karena dia sendiri hidup dilingkungan keluarga petani. Tetangganyapun sebagian besar petani.
Dari semenjak kecil, sampai dia dewasa, tetua di desanya seakan tidak ada perubahan. Rumah-rumah mereka sama saja. Kehidupan mereka susah. Telihat wajah-wajah menanggung beban berat. Belum lagi soal produksi. Bibit, pupuk yang mahal, tapi harga jual tetap murah. Syukur anak mereka bisa mencari pekerjaan lain dipariwisata.
"Arya, mengapa bapak menginginkanmu kuliah di jurusan pertanian, karena bapak ingin kamu memiliki kemampuan yang lebih soal pertanian". Kata Bapak Arya, disela istirahat makan siang. Mereka baru saja habis mencabuti tanaman gulma di kebun strabery.
"Apa cukup dengan ilmu bisa meningkatkan penghasilan pak?" Sahut arya sambil meminum air putih.
"Bapak pikir ya. Sebab apa, kau akan memiliki wawasan ilmu yang luas. Siapa tahu ada tekhnologi yang lebih mapan. Termasuk juga soal pemasaran".
Arya merenung."Hebat juga bapak, pikirnya dalam hati". Tapi aku tetap ragu. Apakah selama ini tidak ada orang tamat sarjana pertanian? Mengapa pertanian di desanya tetap seperti itu-itu saja.
Sesungguhnya ada yang lebih sembunyi dibalik alasan yang dia sampaikan kepada bapaknya. Ya, tentang perempuan yang dicintainya. Irma, gadis desa sebelah. Irma yang mendorong semangat belajar Arya, sehingga dia terus menjadi juara.
"Arya, apa keinginanmu untuk kuliah ke Jawa tidak berubah?", tanya Irma setelah mereka selesai
menandatangani ijasah.
"Mau bagaimanalagi Ir. Aku tidak berani melawan orang tuaku. Dan setelah aku pikir, aku harus menekuni bidang pertanian. Modal awal yang aku miliki kan tanah pertanian", jawab arya sambil memegang tangan Irma kekasihnya.
Irma memandang Raka. Matanya kelihatan berkaca menahan air mata, lalu dia berucap.
"Tidakkah ada jalan lain? Setega itukah kau memutuskan dan meninggalkanku sendirian di Bali?"
Raka mengeratkan genggaman jemarinya. "Irma. Aku mohon pengertianmu. Kau tahu kan siapa diriku? Dua tahun kita dalam ikatan cinta. Pernah kau rasakan dustaku? Percayalah. Bukan soal dekat atau jauh. Tapi kau harus yakin soal kejujuranku". Raka berdiri lalu mendekati Irma. Dia mengibaskan rambut Irma yang tergerai dikeningnya. Buliran air mata menetes di pipi Irma, lalu Raka mengusapnya.
Entah keberanian apa yang membuat keduanya begitu larut dalam semai asmara. Irma tidak ragu berdiri dan merebahkan badannya di dada Raka. Suara tangisnya tersengar. Dia tak peduli dengan teman di halaman sekolah. Sampai akhirnya Raka mengingatkan.
"Sayang, hentikan tangismu. Malu didengar teman nanti. Percayalah padaku".
Irma memandang Raka sambil berucap. "Biar..., biar mereka tahu. Rasa malu tidak sesakit rasa yang akan kau tinggalkan pada diriku", Irma berkata sambil mengguncang tubuh Raka.
Apa yang dirasakan Irma, sesungguhnya sama dengan perasaan Raka. Dia berusaha menenangkan Irma sambil terus mengusap rambutnya. Lalu dia menatap wajah Irma. Sebuah kecupan dia layangkan di kening Irma.
Sambil berucap. "Sayang, agar kau tidak ragu akan kesetiaan cintaku, nanti aku akan mengajakmu ke rumah. Aku tidak seperti lelaki lain yang mungkin kau bayangkan. Ayo kita pulang dulu".
Lama Irma menatap wajah Raka. Wajah yang tampan dan tulus mencintainya. Wajah yang selama ini dia kagumi karena kejujuran dan kepintarannya. Irma perlahan melepas pelukannya. Sesaat dia memegang tangan Raka. Mereka kemudian berpisah mencari motor masing-masing.
Hari terus berlalu. Kegalauan hati Irma sama dirasakan oleh Raka. Mereka takut akan hari perpisahan nanti.
Setiap saat mereka menjalin komunikasi. "Sayang. Besok bisa luangkan waktu? Aku sudah
bicara sama bapak, akan mengajakmu kerumah". Raka menelpon Irma kekasihnya.
Entah keberanian apa yang membuat keduanya begitu larut dalam semai asmara. Irma tidak ragu berdiri dan merebahkan badan di dada Raka. Suara tangisnya terdengar. Dia tak peduli dengan teman di halaman sekolah. Sampai akhirnya Raka mengingatkan.
"Sayang, hentikan tangismu. Malu didengar teman nanti".
Irma memandang Raka sambil berucap. "Biar..., biar mereka tahu. Rasa malu tidak sesakit rasa yang kau tinggalkan pada diriku", Irma berkata sambil mengguncang tubuh Raka.
Apa yang dirasakan Irma, sesungguhnya sama dengan perasaan Raka. Dia menenangkan Irma sambil terus mengusap rambutnya. Sebuah kecupan dilayangkan di kening Irma.
Lama Irma menatap wajah Raka. Wajah yang selama ini dia kagumi, karena kejujuran dan kepintarannya. Irma perlahan melepas pelukan. Dia memegang tangan Raka. Mereka kemudian berpisah mencari motor masing-masing.
Hari terus berlalu. Setiap saat mereka menjalin komunikasi, hingga "Sayang. Besok bisa luangkan waktu? Aku mengajakmu kerumah". Raka menelpon Irma.
Irma degdegan mendengar ajakan kekasihnya. "Apa secepat ini Raka. Aku malu?".
"Ir, ini pilihan terbaik bagiku untuk membuktikan kau satu-satunya di hatiku".
Irma menatap handpon yang dipegangnya. Dia tidak menyangka keseriusan Raka. "Ya Raka. Jemput aku kesekolah ya. Aku taruh motor di sekolah saja".
"Ya, ir. Jam 8 aku menjemputmu".
Tepat pukul delapan mereka sudah berangkat dari sekolah. Disusuri jalan berliku di pedesaan. Sekali-kali Irma memegang erat pinggang Raka.
"Raka pelan-pelan. Aku takut jatuh".
"Ini sudah pelan. Jalan di desa memang gini. Agak rusak. Sabar, kalau kau jatuh, kan ada aku memelukmu".
"Uh, mulai nakal ya", Irma menjimpit pinggang Raka. "Baru sekali kan?"
"Maksudmu?"
"Mau dua kali", lalu Raka melepas satu tangannya dipegangan stang motor. Dia memegang pinggang Irma. Irma jadi gelagapan.
"Ih, Raka", Irma membalas dengan mencubit pipi Raka.
Perjalanan pagi ini begitu indah, seindah pemandangan alam pedesaan yang masih asri. Lekak-lekuk tanah sawah ditingkahi gelayut pepohonan diterpa angin, menambah indah alam desa. Sesekali Irma memegang erat pinggang Raka, karena tikungan yang tajam. Tidak terasa mereka sudah sampai di rumah Raka.
"Ayo turun sayang. Keasyikan ya memeluk pinggangku".
"Uh, ada aja. Kamu nakal". Irma cepat melepas pelukannya.
Raka menuntun Irma masuk kehalaman rumah. Irma terheran-heran melihat rumah Raka. Walau bangunan
sederhana, tapi tanaman yang banyak dan berbunga menambah suasana jadi adem. Setelah duduk di teras rumah, ibu Raka datang membawakan teh hangat.
"Silahkan minum. Maaf ibu tidak bisa menemani. Ibu harus memetik bunga untuk dijual besok".
"O, ya bu. Terimakasih".
Beberapa saat kemudian, ayah Raka memulai pembicaraan.
"Nak, bapak sedikit tahu dengan nak. Katanya namanya nak Irma. Betulnya?"
"Ya, bapak. Maaf kalau saya lancang kerumah bapak". Irma menjawab, sambil diam-diam menjimpit paha Raka. Dia merasa sungkan suasana seperti ini.
"Begini nak Irma. Anak bapak Raka, sudah sempat menyampaikan hubungan nak Irma dengan Raka. Bapak memaklumi karena bapak juga pernah seperti nak berdua".
Sambil meminum kopi, bapaknya Raka meneruskan. "Keadaan bapak termasuk Raka seperti ini. Nak, cinta itu suci. Harus dijaga. Cuma bapak minta kepada
nak irma pengertiannya. Anak bapak, Raka bapak kuliahkan di Jawa biar dapat kampus khusus tentang pertanian. Bapak ingin dia bisa mengembangkan warisan tanah kebun yang bapak warisi juga".
Raka dan Irma mendengarkan dengan serius ucapan bapaknya. Irma berpikir ayah dan Raka sama seriusnya. Pantes keluarga Raka dibilang berhasil di desa karena mereka tekun.
"Bapak teruskan. Nak Irma, bapak tidak biasa berbohong. Hubungan nak Irma dengan anak bapak, walau nanti berjauhan, bapak berpesan kepada Raka dan nak Irma untuk menjaga kesucian cintamu berdua".
Banyak sekali petuah yang diberikan. Sampai hari menjelang sore. Mereka kemudian mohon pamit. Di hati Irma dan juga Raka tidak lagi terpatri keraguan. Sambil menanti menjelang malam, mereka sepakat menikmati sunset pantai Mengening.
Tidak berselang lama mereka telah sampai. Suasana langit pantai Mengening terlihat jingga. Mentari di ujung barat tepian laut, sebentar lagi akan tenggelam. Raka dan Irma duduk santai di pinggir pantai.
Deburan ombak menimpali debur asmara yang bergemuruh di hati mereka.
Cinta itu indah sayang. Seindah pernak pernik warna mentari jingga."pikir mereka dalam pelukan".
Catatan. Tulisan ini mungkin sdh dimuat di media lain.