Dampak si "katanya" ini lebih jauh lagi dapat menimbulkan konflik bahkan perang seperti antar suku, agama, dan politik. Hal ini dikarenakan berita-berita "katanya" ini memicu munculnya prasangka (prejudice) pada penerima berita. Definisi klasik prasangka pertama kali diperkenalkan oleh psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport dalam bukunya The Nature of Prejudice yang terbit tahun 1954. Istilah itu berasal dari kata praejudicium, yakni pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu.
Dalam perkembangannya, teori prasangka mencakup hal yang lebih luas dan kompleks dari sekedar perasaan tidak suka karena pengalaman dangkal. Namun pada kenyataannya, banyak prasangka yang timbul hanya bermodal si "katanya" tanpa disertai proses penelaahan terlebih dahulu (dangkal). Semakin banyak yang bilang, maka berita tersebut semakin dipercaya kebenarannya. Tak penting logikanya, tak penting faktanya. Yang penting, jika orang-orang bilang begitu maka itulah kebenaran. Di tengah banyaknya berita simpang siur dan kesibukan, terkadang banyak orang lebih mempercayai hal instan daripada bersusah susah payah mencari tahu kejadian yang sebenarnya.
Kasus sederhana mengenai prasangka adalah bagaimana seorang objek prasangka dibenci, dikucilkan atau dipersekusi oleh masyarakat. Bahkan bisa jadi rupa wajah si objek prasangka juga belum pernah dilihat, namun gambarannya sudah menyebar kemana-mana. Tentu saja gambaran tersebut merupakan setingan penyebar berita. Fenomena yang lebih kekinian adalah ternyata prasangka juga dapat muncul atau diperkuat dari status atau story di media sosial. Agaknya ada saja oknum-oknum baper yang merasa punya instink cenayang yang dapat menerawang makna di balik tulisan di media sosial. Lalu mulailah mengasosiasikan segala hal yang pada akhirnya hanya memperkuat prasangka.
Lalu bagaimana cara mencegah dan mematahkan prasangka?Â