Dalam hal menyimpulkan ke mana dukungan itu akan ditujukan maka dari sinilah mulai terjadi gejolak-gejolak di internal partai. Bukan nya mereka satu suara malah sebagian dari para elite, dan sebagian dari kader parpol malahan berseberangan. Sialnya lagi, perbedaan itu tidak terselesaikan di internal, melainkan mencuat keluar. Publik pun mendapat kesan parpol tidak solid, tidak akur, atau mencari keuntungan sendiri-sendiri.
Seperti kita ketahui bersama, gejolak pertama kali muncul di kubu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), jauh sebelum pasangan capres-cawapres dideklarasikan. Keikutsertaan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali pada kampanye Gerindra menuai kritik para kader partai. Partai belum resmi mengarahkan dukungan, sang ketua sudah duluan melompat.
PPP yang terseok pada perolehan suara Pileg 2014 ini nyaris pecah gara-gara masalah dukung-mendukung ini. Namun, setelah terjadi rekonsilisasi antara ketua umum di satu sisi dan kader muda di sisi lain, PPP berlabuh juga ke poros Gerindra.
Manuver paling signifikan adalah partai dengan perolehan suara pileg kedua tertinggi, yakni Golkar, yang merapat ke poros Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sejumlah politisi muda Golkar menolak sikap politik partai yang mendukung Prabowo, dan memilih mendukung Jokowi. Koalisi masih terlihat karena pertimbangan pragmatis transaksional, jauh dari koalisi ideal yang seharusnya dibangun atas dasar kesamaan ideologi dan platform.
Hal ini terjadi salah satunya memang karena kondisi di mana poros yang bersaing pada Pilpres 2014, yakni Jokowi-JK dan poros Prabowo-Hatta, memiliki platform sama. Sebab itu, pertimbangan bergabung tinggal bergantung pada chemistry yang sama dalam membangun bangsa. Pada kondisi ini ke- mudian dimanfaatkan sekalian untuk mendapatkan kursi kekuasaan.
Di balik pertunjukan koalisi parpol mendukung pasangan capres-cawapres, PDI-P telah memelopori terbangunnya koalisi yang bukan karena kemauan mendapatkan kursi. Capres Jokowi sebelum resmi dipasangkan dengan Jusuf Kalla, telah menyebut akan membentuk zaken kabinet yang di isi the right man on the right place. Bukan kabinet berdasarkan koalisi seperti pemerintahan saat ini. Demikian juga soal posisi cawapres Jokowi, PDI-P tidak menjadikannya sebagai iming-iming agar parpol lain merapat. Nasdem yang pertama bergabung tanpa memusingkan bakal mendapat kursi cawapres dan kursi menteri atau tidak. Lalu disusul PKB dan Hanura. Semoga benar koalisi parpol-parpol tadi memang didasari niat murni karena satu visi, bukan soal bagi-bagi kursi.
Contoh positif bagi pembangunan demokrasi adalah sikap Partai Demokrat yang berani tidak mendukung salah satu poros yang berarti bersiap untuk tidak mendapat bagian dalam kabinet, meski banyak yang meragukan sikap ini. Apakah sampai akhir pemilihan presiden nanti Demokrat tetap pada pendiriannya, waktu yang akan menjawab.
Sikap independen dan berpikir untuk jangka panjang, yakni Pilpres 2019, menjadi pelajaran berharga pada perpolitikan di negeri ini. Kepentingan sesaat penting tapi lebih penting lagi bila setiap parpol mau dan mampu mengesampingkannya demi kepentingan lebih besar yakni bagi negeri.
Jakarta, 22 Mei 2014