Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Revitalisasi Bangunan Peninggalan Sejarah di Kota Surabaya

10 Januari 2012   01:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:06 2418 0

Kota Surabaya dikenal sebagai kota pahlawan yang lokasinya strategis sejak abad IX. Kota Surabaya telah sejak lama menjadi saksi peristiwa sejarah yang proses dan perkembangannya tergambar dari kronologis peristiwa, geografis, cultural, ekonomis, hingga politisi yang terlibat.

Dimulai pada awal abad VII – IX menarik perhatian para penguasa atau raja di jaman kuno dari Jawa Tengah yang akhirnya memindahkan pusat pemerintahan kerajaan mereka ke Jawa Timur, yang ketika itu dikhususkan terletak di muara Sungai Brantas sebagai pusat permukiman. Sejak itu Surabaya berkembang menjadi Kota Pelabuhan hingga berkembang menjadi kota dagang dan industry terbesar di Indonesia pada abad XIX – XX.

Kota Surabaya memiliki hinterland yang sangat subur dan kaya. Dengan dua penghubung sungai besar yaitu Kali Brantas dan Bengawan Solo, Surabaya mampu memenuhi prinsip-prinsip utama ekonomi sebagai pelayanan terhadap supply dan demand maupun menjalankan fungsi produksi, distribusi, dan konsumsi. Pada masa VOC dan Hindia Belanda, Kota Surabaya senantiasa berperan sebagai kota transit dan industry yang mendistribusikan berbagai komoditi mulai dari rempah-rempah, beras, gula, tembakau, kopi, dan lain-lain ke berbagai penjuru tanah air dan dunia.

Kota Surabaya mendapatkan kehormatan karena tekad arek-arek suroboyo dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialism dalam pertempuran 10 November 1945 dengan predikat Hari Pahlawan. Surabaya juga mendapat sebutan sebagai Kota Pahlawan karena kejadian bersejarah tersebut terjadi di Kota Surabaya. berbagai lokasi atau situs serta bangunan yang menjadi arena pertempuran telah terbadikan atau dilindungi sebagai benda atau bangunan cagar budaya di Kota Surabaya. tidak sedikit dari bangunan bersejarah tersebut bernilai tinggi . contohnya Gedung Internatio, Gedung PTP V, Kantor pos besar Kebonrojo, Tugu Pahlawan, dan lain-lain. Karena itu diperlukan perhatian khusus untuk melindungi warisan-warisan sejarah tersebut.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surabaya Tahun 2005, yang dimaksud Bangunan Cagar Budaya adalah bangunan buatan manusia, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Sedangkan pengertian dari Lingkungan Cagar Budaya adalah kawasan di sekitar atau di sekeliling bangunan cagar budaya yang diperlukan untuk pelestarian bangunan cagar budaya dan/atau kawasan tertentu yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Untuk pengelolaan bangunan cagar budaya berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surabaya Tahun 2005 dibagi menjadi tiga, yaitu :

a.Pelestarian atau Konservasi

Pelestarian atau Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya agar makna budaya yang dikandungnya terpelihara dengan baik dengan tujuan untuk melindungi, memelihara dan memanfaatkan, dengan cara preservasi, pemugaran atau demolisi.

b.Perlindungan

Perlindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi segala gejala atau akibat yang disebabkan oleh perbuatan manusia atau proses alam, yang dapat menimbulkan kerugian atau kemusnahan bagi nilai manfaat dan keutuhan bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya dengan cara penyelamatan, pengamanan dan penertiban.

c.Pemeliharaan

Pemeliharaan adalah upaya melestarikan bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya dari kerusakan yang diakibatkan oleh faktor manusia, alam dan hayati dengan cara perawatan dan pengawetan

Pemanfaatan bangunan cagar budaya juga diatur dalam Peraturan Daerah Kota Surabaya Tahun 2005, yaitu :

a.Preservasi

Preservasi adalah pelestarian suatu bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya dengan cara mempertahankan keadaan aslinya tanpa ada perubahan, termasuk upaya mencegah penghancuran.

b.Pemugaran

Pemugaran adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan melestarikan bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya dengan cara restorasi (rehabilitasi), rekonstruksi atau revitalisasi (adaptasi).

·Restorasi atau Rehabilitasi

Restorasi atau rehabilitasi adalah pelestarian suatu bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya dengan cara mengembalikan ke dalam keadaan semula dengan menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen semula tanpa menggunakan bahan baru.

·Rekonstruksi

Rekonstruksi adalah upaya mengembalikan suatu tempat semirip mungkin dengan keadaan semula, dengan menggunakan bahan lama maupun bahan baru, sesuai informasi kesejarahan yang diketahui.

·Revitalisasi atau Adaptasi

Adaptasi atau Revitalisasi adalah mengubah bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya agar dapat dimanfaatkan untuk fungsi yang lebih sesuai tanpa menuntut perubahan drastis.

c.Demolisi

Demolisi adalah upaya pembongkaran atau perombakan suatu bangunan cagar budaya yang sudah dianggap rusak dan membahayakan dengan pertimbangan dari aspek keselamatan dan keamanan dengan melalui penelitian terlebih dahulu dengan dokumentasi yang lengkap.

Pemkot Surabaya melalui Perda No. 5 Tahun 2005 menetapkan klasifikasi masing-masing bangunan Cagar Budaya menjadi bagunan berklasifikasi A,B,C dan D. Klasifikasi dilaksanakan karena masing-masing bangunan memiliki umur, estetika, kelangkaan, keistimewaan, nilai sejarah, keilmuan dan kejamakan yang berbeda-beda. Misalnya pada bangunan klasifikasi A tidak diperkenankan adanya perubahan apapun pada fisik bangunan walaupun dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian perubahan fungsi namun harus tetap sesuai dengan rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk aslinya.

Pelestarian Benda Cagar Budaya juga diamanatkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1992 khususnya segi arsitektural yang menjadi salah satu daya tarik tersendiri. Terpeliharanya suatu bangunan kuno dan bersejarah akan mampu menjadi jembatan masa lalu dan masa sekarang. Suatu bangsa akan mampu menjadi besar jika bangsa itu mau berpaling ke masa lalu dan belajar dari perjalanan yang telah dilaluinya.

Upaya revitalisasi bangunan harus diwujudkan melalui berbagai macam aspek. Tak sekedar pembangunan  fisik infrastruktur, tetapi juga kreativitas baru di sekitar lingkungannya untuk menghidupkan situs sejarah yang potensial. Peran serta masyarakat dalam implementasi revitalisasi sangat diharapkan sehingga dapat menghasilkan keuntungan ekonomi dan kualitas hidup yang lebih baik. Contohnya adalah revitalisasi dan pelestarian lingkungan permukiman tradisional dan bangunan bersejarah berpotensi wisata untuk menunjang tumbuh kembangnya ekonomi lokal dan diperlukan keterlibatan pemerintah daerah dan swasta serta masyarakat dalam penataan bangunan dan lingkungan. Hal ini bisa mulai dilakukan dengan pembuatan rute khusus wisata sejarah yang melibatkan manajemen tranposrtasi umum untuk memfasilitasi wisata peninggalan sejarah. dari situ akan nampak keterlibatan dari berbagai pihak mulai dari pemerintah, swasta , dan tak ketinggalan masyarakat.

Diharapkan pemerintah mampu membangun jejaring dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) utama serta mengenali isu-isu yang berkaitan dengan revitalisasi bangunan peninggalan sejarah agar tercipta satu acuan baku yang dapat diterapkan, terstruktur/sistematis dan mengacu pada kaidah-kaidah pelestarian (preservation codes) untuk penanganan perawatan, perbaikan dan pelestarian aset-aset bangunan bersejarah.

Contoh dari bentuk revitalisasi yang kreatif telah nampak pada pameran video mapping 3D di museum Fatahillah Jakarta beberapa tahun lalu. Video mapping 3D, yakni suatu pertunjukan gambar bergerak, fotografi, dan desain komputer yang digabungkan menggunakan perangkat lunak dan keras lalu diproyeksikan ke gedung (Museum Fatahillah) untuk menciptakan imaji yang mengecoh mata. Video mapping 3D yang baru pertama kali digelar di Indonesia hasil kolaborasi seniman multimedia asal Inggris D-Fuse dengan sineas muda Sakti Parantean dan Adi Panuntun, fotografer Feri Latief, dan penulis Taqarrable. Dengan melibatkan kreativitas seperti itu diharapkan generasi muda juga ikut membantu menjaga bangunan peninggalan sejarah mereka dengan cara keratif mereka sendiri.

3D Mapping Arts, Museum Fatahillah Jakarta

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun