Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Nusantara: Kemala yang Terpendam

11 Agustus 2013   02:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:27 240 0
Prolog: Kepunahan manusia memasuki peradaban baru
Akibat letusan Gunung Toba dan Zaman Es berakhir merupakan siklus alam dimana bumi melakukan pembersihan sehingga populasi manusia mengalami kepunahan. Persebaran manusia kembali memasuki zaman baru setelah ditandai dengan bencana alam meletusnya Gunung Toba pada sekitar 75.000 tahun lalu. Pada masa itu terjadilah proses pendinginan aerosol dan dikenal dengan sebutan memasuki Zaman Es (pleistocene) yang kemudian melahirkan dugaan para pakar tentang kondisi alam masa itu: daratan Asia Tenggara dengan Nusantara bagian barat merupakan satu daratanKepulauan Papua pun menyatu dengan Australia. Karena itu, pada masa yg sama itulah persebaran manusia lebih mudah dimungkinkan hanya dengan perahu cadik mengingat Laut China Selatan kering bahkan lautan itu menjadi perairan yang dangkal. Maka akibat zaman es, manusia di dunia mulai bergeser dari daerah dingin ke daerah panas untuk menunjang keberlangsungan mereka. Insting. Dan berakhirnya Zaman Es diduga sekitar 20.000-10.000 tahun lalu dengan masa pelelehan yang juga cukup memakan waktu lama, yakni sekitar 6.000 tahun lalu.

Pada masa akhir zaman es dan pasca letusan Gunung Toba serta letusan seluruh gunung api di Sunda Land (Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi) mengakibatkan kondisi alam di tanah ini subur dan memiliki kandungan sumber daya alam yang berlimpah seperti berbagai bahan tambang mineral yang bernilai seperti emas. Maka karena kondisi ini pun manusia mulai menetap di dataran Sunda Land yang tidak lagi menjadi satu daratan yang utuh karena es yang mulai mencair menenggelamkan beberapa pulau. Juga akibat letusan gunung api pun menjadi penyebab tidak lagi utuhnya daratan Sunda Land.
Mulailah dari Kalimantan
Saya memulai perjalanan ini dari Februari 2012. Langkah kecil itu dimulai dari tanah bernama Semantun, Kecamatan Permata Kecubung, Kabupaten Sukamara, Provinsi Kalimantan Tengah. Dimulai dengan catatan kecil berjudul Belajar pada Dayak: Memahami Alam Semesta Agar Kita Mengenali Jiwa Manusia dan Tuhan Sang Maha Pencipta. Sebuah catatan tentang kearifan lokal Bangsa Indonesia yang hampir saja terlupakan karena sebuah kejadian berdarah bernama Tragedi Sampit beberapa tahun lalu. Kejadian yang menggemparkan dunia itu menjadi luka yang tak terobati bagi sekelompok komunal Kalimantan yang dikenal dengan sebutan Dayak oleh bangsa kolonial Belanda.

Terlepas dari sebuah sebutan komunal Kalimantan, pernahkah terlintas mengapa bangsa kolonial Belanda memberikan sebutan Dayak pada mereka? Belanda memang pandai sekali dalam bidang agitasi dan propaganda. Sudah semestinya kita mengakui itu. Mengapa tidak? Sebutan Dayak diberikan karena pengaburan bangsa kolonial Belanda akan kehebatan dan kebesaran komunal Kalimantan. Sama halnya pemberian nama sebutan Inlander yang bermakna Budak kepada Pribumi. Pun pemberian sebutan Dayak pada Komunal Kalimantan pun bertujuan sama.

Bangsa kolonial Belanda menginjakan kakinya di Tanah Nusantara berbekal akal yang brilian. Bukan hanya sekadar mengeksploitasi sumber daya alam Nusantara, bahkan menjarah ilmu pengetahuan yang diwarisi para leluhur Bangsa Indonesia serta menelanjangi mental penerus Bangsa Indonesia dengan berbagai rangkaian cerita sejarah yang mereka tuliskan tentang para Leluhur Nusantara. Iya, yang lebih telak lagi adalah adanya pembelokan Sejarah Nusantara oleh para Bangsa kolonial Belanda.

Mulailah dari sebutan Dayak. Mengapa diberikan nama itu? Terngiang di telinga kita tentang lagu di masa Taman Kanak-Kanak (TK) dulu: Nenek moyangku seorang pelaut. Gemar mengarung laut Samudera. Tiada takut, tiada gentar. Ombak menerjang, sudah biasa. Hei, itu bukan sekadar lagu isapan jempol! Itu tentang sejarah bibiografi para Leluhur Bangsa Indonesia. Dahulu, pada zaman para Leluhur Bangsa Indonesia, khususnya di Kalimantan, daratan yang banyak memiliki air telah menjadi sebuah kebiasaan bagi anak-anak membuat sebuah kapal layar.

Jika dibayangkan pada masa sekarang di Jepang, anak-anak sudah pandai membuat robot, tapi dahulu di Kalimantan anak-anaknya telah pandai membuat kapal layar sendiri. Maka tidak heran, jika anak-anak di Kalimantan yang mulai beranjak besar (ABG) telah mampu mengarungi laut lepas seorang diri dengan kapal layar buatan tangan mereka sendiri. Jangankan laut lepas, pegunungan dan hutan belantara sudah mereka jelajahi dengan berjalan kaki berhari-hari. Mungkin jika kondisi kita terlahir pada kondisi yang sama, maka kita pun akan melakukan hal yang sama. Ini bisa dikatan dengan sebutan tuntutan kebutuhan karena kita hidup tergantung pada alam.
Lahirnya Budaya
Ketergantungan para Leluhur Bangsa Indonesia akan alam mengkondisikan mereka untuk lebih memahami alam dengan benar. Karena itu kita mengenal daftar aturan yang kemudian dilegalkan melalui kesepakatan musyawarah komunal dengan sebutan Adat. Aturan itu hukumnya saklek atau mutlak. Hal itu dibuat karena para Leluhur Bangsa Indonesia telah mempelajari dan memahami alam dengan benar. Bukankah hukum mutlak akan berlaku jika ada faktor ketergantungan?

Manusia dan alam tidak dapat terpisahkan. Keduanya saling berhubungan. Tetapi faktor ketergantungan hanya berlaku pada manusia. Artinya, keberadaan alam tidak tergantung pada manusia. Hal itu dikarenakan keberlangsungan alam tidak memberikan dampak yang menguntungkan bagi alam itu sendiri. Sebaliknya, keberlangsungan alam akan menjadi dampak yang berarti bagi manusia. Dan dengan alasan itu alam diciptakan oleh Allah untuk manusia. Allah Maha Mengetahui, sehingga Dia ciptakan alam beserta isinya lebih dulu untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Berdasarkan pemahaman itu, para Leluhur Bangsa Indonesia mempelajari alam semesta agar diketahui cara bagaimana menjaga alam demi keberlangsungan manusia. Para Leluhur Bangsa Indonesia telah memikirkan keberlangsungan manusia karena mengingat alam tetap pada bilangan konstan memenuhi angka sempurna. Sedangkan bilangan manusia tidak dapat dikatakan konstan karena terus bertambah, maka kebutuhan manusia akan alam pun akan bertambah. Karena itu akan ada kondisi dimana ketidak-seimbangan alam semesta akan terjadi. Pun keharusan menjaga keseimbangan alam agar tetap pada angka sempurna wajib diberlakukan dalam aturan adat oleh para Lelehur Bangsa Indonesia.

Menjaga keseimbangan alam, maka sudah mutlak diperlukan upaya menjaga keseimbangan manusia dengan manusia. Maka para Leluhur pun memberlakukan aturan keluarga. Aturan keluarga dimulai dari sebuah rasa kebersamaan dalam suatu kondisi yang sama yakni sama-sama membutuhkan alam. Maka keseimbangan kebutuhan sesama manusia dengan alam diatur secara kebersamaan bernama keluarga. Di Kalimantan mengenal sebuah tempat bernaung dengan sebutan Rumah Bentang. Filosofi Rumah Betang yang bermakna pesan moral kebersamaan itu melahirkan keluarga. Hal itu pula digambarkan oleh bangunan Rumah Betang yang tidak memiliki ruang bilik atau kamar-kamar. Dan biasanya Rumah Betang ini dihuni oleh 5 sampai 7 kepala keluarga. Bisa terbayang kebersamaan seperti apa yang tercipta dalam satu atap Rumah Betang itu?! Kebersaman dan persatuan telah menjadi sifat dan implementasi kehidupan para Leluhur Bangsa Indonesia.

Melihat bentuk bangunan Rumah Betang di Kalimantan yang dahulu bernama Tanjung Nagara. Dan memiliki arti daratan yang banyak memiliki air sudah barang tentu bangunan rumah akan dibuat panggung atau berkaki untuk menghindari luapan air. Selain untuk menghindari luapan air, alasan mengapa bangunan Rumah Betang dibuat pangung atau berkaki tinggi hingga mencapai 5 meter lebih itu adalah untuk menghindari ancaman binatang buas seperti babi hutan, dan binatang buas lainnya. Juga menghindari kemungkinan ancaman dari perompak atau kelompok orang yang bisa saja merenggut jiwa penghuni atau anggota keluarga. Selain itu, tangga Rumah Betang yang bisa dilepasdan dipasang pun merupakan salah satu upaya mencegah terjadinya ancaman dari luar. Dan bicara ancaman dari luar terhadap anggota keluarga pun berkaitan dengan alasan mengapa Rumah Betang tidak memiliki bilik-bilik kamar. Rupanya hal ini untuk memudahkan Kepala Keluarga menjaga atau memantau jumlah penghuni Rumah Betang yang bisa mencapai tujuh kepala keluarga itu.

Aturan yang berlaku itu diwariskan secara turun temurun yang manusia kekinian mengenalnya dengan nama Budaya. Maka kita bisa melihat bagaimana para Leluhur Bangsa Indonesia berpikir keras untuk menjaga keseimbangan alam semesta dengan menetapkannya berbagai aturan yang bersifat sakral atau tidak boleh dilanggar. Karena sudah jelas jika ada yang melanggar maka hal itu akan merusak keseimbangan alam semesta dan akan berdampak pada keberlangsungan manusia. Namun dengan adanya persebaran manusia di Nusantara, aturan sakral bernama budaya tadi mengalami perubahan. Mengapa demikian? Jika kita sudah memahami alasan mengapa para Leluhur Bangsa Indonesia membuat aturan sebagai upaya menjaga keseimbangan alam semesta maka kita akan mengerti mengapa Budaya awal yang dibawa para Leluhur Bangsa Indonesia dari daratan Kalimantan harus mengalami perubahan.

Kondisi alam. Iya. Alasannya karena adanya perbedaan pada kondisi alam. Ketika para Leluhur Bangsa Indonesia menginjakan kakinya di daratan Sunda dan Sumatera atau Melayu, maka jelas pola pikir manusia yang harus dirubahbukan alam setempat yang harus mengalami perubahandiubah paksa. Kembali cara yang sama pun dilakukan: memahami kondisi dan gejala alam setempat. Setelah itu akan dilakukan kolaborasi budaya yang dibawa semula atau membuang beberapa aturan yang tidak sesuai karena faktor ketidak-cocokan dengan kondisi dan gejala alam setempat. Dari cara itu, maka lahirlah aturan baru untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Karena itu kita melihat Nusantara kini terkenal memiliki banyak budaya. Sekali lagi, kita harus sangat berterimakasih pada para Leluhur Bangsa Indonesia yang membangun Nusantara dengan cara mereka yang arif dan bijaksana lagi sangat brilian: sejatinya manusia.
Budaya lalu Agama
Jika dengan pemikiran awam atau terlepas pemahaman kita akan Al-Quran sebagai pedoman atau aturan kehidupan karena mengingat para Leluhur Bangsa Indonesia terlahir jauh sebelum Al-Quran diturunkan (sebelum Nabi Muhammad SAW lahir: abad ke 7 Masehi), dapat kita tarik benang merah tentang dari mana sebuah aturan kelembagaan manusia bahkan aturan kehidupan berasal. Sungguh beruntung kita yang disebut sebagai manusia kekinian karena terlahir setelah Allah menurunkan Al-Quran. Pasalnya kita tak perlu lagi berpikir keras mempelajari alam semesta untuk melahirkan sebuah aturan guna menjaga keseimbangan alam semesta guna keberlangsungan manusia. Karena hal itu telah dituliskan Allah dalam QS. Ibrahim, 14:1Alif Lam Ra. (ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Terpuji.

Begitu juga Allah tuliskan tujuan Kitab Allah diturunkan dalam QS. Al Mumin 40:54untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berpikir. Karena itu berarti tidak serta merta manusia kekinian tak lagi harus berpikir tentang bagaimana menjaga keseimbangan alam semesta guna keberlangsungan manusia itu sendiri. Itu pula alasan mengapa Allah memberikan akal kepada manusia sebagai makhluknya yang sempurna dari makhluk ciptaan Allah yang lain. Pun itu alasan mengapa Allah menyematkan kodrat manusia sebagai Khalifah di muka bumi yakni menjaga bumi dari kerusakan yang sekali pun juga ada kerusakan disebabkan dari golongan manusia itu sendiri.

Sebagian orang berpikir: Allah sudah menciptakan alam semesta dalam keseimbangan. Tapi semua itu tetap akan binasa pada waktunya. Jadi kenapa harus takut ketika alam semesta tidak lagi seimbang dan mendapati kehancuran itu sendiri. Dan itu kebanyakan manusia kekinian berpikir seperti itu. Maka tidak heran jika kasus korupsi dimana-mana, pembalakan hutan habis-habisan, ekosistem hutan hancur dan mengalami kepunahan, sumber daya alam dieksploitasi gila-gilaan hinga meyisakan bukti nyata semburan lumpur Sidoarjo, Jawa Timur yang tidak berhenti hingga saat ini. Kita harus sadar, ketidak-seimbangan alam semesta itu sudah terjadi. Dari kondisi dan gejala alam yang kita rasa hingga kondisi sosial masyarakat yang terjadi saat ini. Para Leluhur Bangsa Indonesia telah mengupayakan cara bagaimana menjaga keseimbangan alam semesta sebagaimana kodrat manusia itu sendiri sebagai penjaga bumi dari kerusakan sejak dulu dan telah menjadi ilmu tinggi yang diwarisi dan dikemas dengan nama Budaya.

Jika kita berpikir bahwa Kitab Allah diciptakan dan diturunkan sebagai peringatan maka sudah jelas bahwa Budaya lahir lebih dulu. Karena itu Kitab Allah diciptakan dan diturunkan dengan tujuan sebagai peringatan manusia yang berpikir. Dan itu sangat jelas dituliskan Allah pada QS: Ar Rahman. Lantas mengapa kita memperdebatkan sebuah paham atau konsep ini salah dan itu benar? Seperti halnya Komunal Kalimantan yang dikenal hingga kini merupakan penganut Animisme menjadikan pemahaman masayarakat umum bahwa mereka tidak mempercayai adanya Tuhan. Karena itu sebuah paradigma Komunal Kalimantan menjadi lebih ke arah mistis atau dengan kata lain menyeramkan karena lebih mempercayai roh-roh yang sudah mati atau yang biasa digeneralkan dengan sebutan hantu atau setan.

Kecenderungan perubahan paradigma ini lahir karena lahirnya labelitas aturan dengan sebutan Agama. Karena dituliskan dalam Kitab Suci Agama bahwa Setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Mari kita berpikir sebagai manusia sebelum labelitas aturan dengan sebutan Agama lahir atau sebelum Allah menurunkan Al Quran 14 abad lalu. Kemudian mari kita pikirkan mengapa para Leluhur Bangsa Indonesia yang menginjakan kakinya di Kalimantan menggunakan paham atau aturan mempercayai bahwa setiap benda memiliki roh atau jiwa. Ini bukan tentang pemahaman menuhankan roh atau benda-benda, melainkan sebuah bentuk implementasi penghargaan manusia terhadap alam. Ini juga salah satu bentuk upaya menjaga keseimbangan alam semesta guna keberlangsungan manusia.

Manusia yang diciptakan dengan akal memiliki hati yang welas asih atau penyayang yang terlahir dari rasa kebersamaan atau tepatnya lahir dari kehidupan yang berdasarkan pada kekeluargaan. Menjaga adalah bentuk menghargai. Maka menjadikan pemahaman bahwa setiap benda memiliki roh atau jiwa tidak melulu tidak mempercayai adanya Tuhan yang menciptakan. Lantas bagaimana pandangan manusia kekinian akan kepercayaan Komunal Kalimantan dengan adanya Ranying Hattalalangit (Tuhan Yang Maha Tunggal) yang memiliki sifat di antaranya Maha Pencipta dan Maha Penyayang. Kepercayaan itu sangat jelas dipegang teguh oleh Komunal Kalimantan dalam suatu aturan adat bernama Kaharingan (Kehidupan). Maka telah jelas, para Leluhur Bangsa Indonesia, khususnya Komunal Kalimantan jauh sebelum datangnya bangsa kolonial Belanda telah memahami Ilmu Tauhid dan Makrifat.

Maka dari kepingan pemahaman yang didapat dari tanah Kalimantan yang semula bernama Tajung Nagara (daratan yang memiliki aliran air) itu, aku dihadapkan dengan berbagai pola-pola tentang bagaimana Nusantara terbentuk, bagaimana persebaran manusia dan aturan hidup menjadi sebuah budaya yang luhur hingga menghantarkan Nusantara mencapai masa kegemilangannya menjadi Mercusuar Dunia pada masa Abad ke 7 Masehi. Dari berbagai pola yang kutemukan: tidak ada satu pun cerita yang mengarah pada penjelasan perpecahan karena masalah perebutan kekuasan antar keluarga. Sekali lagi, bangsa kolonial Belanda sangat pandai dalam agitasi dan propaganda memecah-belah persatuan Nusantara dalam politiknya yang bernama Devide et Empire.
Jangan Terprovokasi karena Kesukuan dan Konsep Aturan Hidup
Realita mencatatkan rangkaian Sejarah Nusantara pasca hadirnya bangsa kolonial Belanda: perang saudara karena Kesukuan dan Konsep Aturan Hidup yang kini dilabelitaskan dengan sebutan Agama. Tragedi Sampit merupakan pelajaran hidup Bangsa Indonesia yang cukup membekas sebagai peringatan bagi manusia yang berpikir. Sudah semesetinya kita berpikir mengapa harus ada kesukuan bagi manusia Nusantara yang mendiami daratan atau pulau tertentu. Padahal budaya luhur yang diwarisi para Leluhur Bangsa Indonesia jelas berasal dari akar pohon yang sama. Hakikat perbedaan bukan pada budaya melainkan kondisi alam yang kita diami atau tempati. Faktor itu yang kemudian melahirkan perubahan pada budaya yang dibawa dalam persebaran manusia di Nusantara.

Catatan lain adalah Tragedi Poso. Perang saudara karena perbedaan konsep aturan hidup yang melatarbelakangi peristiwa ini. Jika para Leluhur Bangsa Indonesia mengajarkan bahwa Tuhan Maha Tunggal maka konsep apa pun itu tidak akan menjadi perdebatan yang meruncing pada pecahnya perang saudara. Karena konsep apa pun itu: Tuhan Yang Maha Tunggal hanya akan mengajak manusia untuk menerapkan prilaku benar. Yakni menjaga bumi dari kerusakan sebagaimana Tuhan telah menetapkan kodrat makhluk golongan manusia sebagai Khalifah di muka bumi. Istilah menjaga bumi dari kerusakan maka sudah mutlak tidak akan mengajak manusia untuk berperang dengan keluarganya sendiri karena itu akan menyebabkan ketidak-seimbangan alam semesta yang berdampak pada keberlangsungan manusia.

Maka jika budaya Nusantara berasal dari akar pohon yang sama dan konsep aturan hidup semuanya tentang bagaimana Tuhan Yang Maha Tungal mengajarkan manusia untuk hidup yang benar, mengapa kita masih mudah terprovokasi untuk memilah melepaskan mandau, keris, parang, pedang, golok, atau senapan dari sarungnya untuk membasahi Tanah Nusantara dengan darah keluarga kita sendiri? Jadi berhentilah memperpanjang perdebatan bahwa suku A lebih benar atau lebih tua dari Suku B atau Suku Z. Dan atau perdebatan soal konsep aturan hidup 1 lebih benar dari konsep aturan hidu 2. Nusantara Satu menaungi banyak alam yang berbeda dengan budaya yang berasal dari akar pohon yang sama yakni aturan adat tentang bagaimana menjaga keseimbangan alam semesta guna keberlangsungan manusia. Sedangkan aturan adat yang dibuat oleh para Leluhur Bangsa Indonesia tidak terlepas dari pemahaman mereka akan alam semesta dan Penciptanya Yang Maha Tunggal.

Terkhususkan soal pemahaman para Leluhur Bangsa indonesia yang mempercayai Tuhan Yang Maha Tunggal perlu dipahami dengan benar. Penyebutan paham ini acap kali berbeda di setiap daratan karena adanya perubahan budaya yang disebabkan kondisi dan gejala alam yang berbeda. Namun perbedaan ini menjadi suatu pemahaman yang general oleh kolonial bangsa Belanda. Kekurangan informasi karena kondisi dan gejala alam yang berbeda di Belanda dengan di Nusantara yang menyebabkan pola pikir pemahaman kolonial bangsa Belanda seperti ini. Alhasil penyebutan dan cara yang berbeda digeneralkan oleh kolonial bangsa Belanda dengan sebutan Agama. Mengapa demikian? Karena kolonial Bangsa Belanda tidak melewati fase awal lahirnya budaya. Mereka terlahir saat pemahaman Agama sudah lahir dan jauh sesudah Budaya mengalami banyak perubahan. Karena itu juga mengapa masyarakat Indonesia harus berbangga hati sebagai bangsa yang memiliki budaya. Jelas sekali bukan? Karena bangsa lain tidak memiliki budaya. Pemahaman mereka tentang alam semesta lahir setelah labelitas Agama lahir. Karena itu mereka tidak mampu memahami benar bagaimana formula menjaga keseimbangan alam semesta. Kecuali jika mereka adalah manusia berpikir.

Pemahaman kolonial bangsa Belanda yang minim itu yang kemudian menjadikan ambigu di kalangan masyarakat Indonesia. Pemahaman kolonial bangsa Belanda tentang ketatanegaraan atau pemerintahan Nusantara dari catatan Sejarah Nusantara diperoleh bahwa sistem pemerintahan Nusantara dipengaruhi oleh keyakinan yang dipegang saat itu yang notabene dimaksudkan oleh mereka sebagai agama ini maka lahirlah penyebutan-penyebutan untuk setiap keyakinan yang ada: Hindu Syiwa, Budha Mahayana, dan lainnya. Sekali lagi masih berdasarkan pemahaman kolonial bangsa Belanda tentang itu semua, mereka menjadikan pemahaman itu sebagai dasar memilah politik perang mereka untuk melakukan ekspansi ke Nusantara. Rangkaian itu masih melekat kuat pada pola pikir masyarakat Indonesia hinga saat ini. Sekali lagi, kecuali jika mereka adalah manusia berpikir.
Luruskan Sejarah Nusantara
Luruskan sejarah! pekik kebanyakan orang hari ini. Mengapa pernyataan itu harus dibuat? Haruskan ada upaya untuk meluruskan sejarah? Khususnya catatan perjalanan panjang Sejarah Nusantara. Bagaimana meluruskannya? Kita hanya bisa saling berpandangan dalam sebuah ruang bernama kolom opini. Lantas perdebatan panjang dari semua institusi akan mengusik eksistensi masing-masing dalam ruang itu. Kemudian akan ada sebuah pertanyaan di antara banyaknya pertanyaan: untuk apa kita memperdebatkan itu semua?

Beberapa media jelas telah membuat kondisi perdebatan itu menjadi ramai. Provokasi kewenangan antar daerah semakin meruncing. Wayah-wayah, isu kesukuan kembali terangkat. Bukankah sudah cukup kolonial Bangsa Asing dengan terang-terangan menjajah bangsa ini? Kenapa kita masih terbuai dalam cengkrama itu? Dan bukankah negeri ini sudah jelas-jelas merdeka sebelum kolonial Bangsa Asing datang menjajah dan mengeksploitasi tanah ini? Kenapa dan Mengapa lantas Apa yang selalu membuat kita berkutat pada eksistensi masing-masing? Bukankah kita semua satu keluarga? Satu atap bernama Nusantara? Untuk apa Soekarno kembali mengangkat Sumpah Palapa Gajahmada? Iya. Dari pembelajaran itu kita bisa melihat, musuh bangsa ini adalah eksistensi kita masing-masing. Karena itu juga kita harus membuka mata dan memahami persatuan.

Kenapa masyarakat Nusantara harus bersatu dalam bendera Merah-Putih bernama Indonesia? Kenapa Soekarno banyak meninggalkan pesan singkat yang sangat tersirat? Emas batangan yang disebut-sebut sebagai harta karun Soekarno dengan cap segel Garuda-Bank Swiss menjadi salah satu clue yang dititipkannya. Tapi eksistensi privatisasi telah menjadi bagian dari sisi manusia hari ini bahkan di masa lalu. Ini permasalahan klasik! Kenapa kita masih berkutat dalam ranah itu semua. Terkadang, sesekali kita harus berlari keluar lingkaran untuk menganalisa sebuah permasalahan yang konteksnya sudah melebar.

Sejarah adalah wacana tentang masa lalu yang siapa pun tidak bisa membenarkannya secara pasti. Karena itu kita hanya bisa menduga-duga. Tapi dari dugaan yang dikeluarkan, jelas tidak harus menjadi perdebatan panjang. Atau bahkan keluar dari konteks wacana. Siapa pun berhak atas pemikirannya. Namun, kita semua tahu bahwa praduga yang dikeluarkan harus bertujuan menghasilkan solusi bukan menjadi pemicu lahirnya permasalahan baru yakni perpecahan. Kita belajar pada sejarah bertujuan untuk menanggulangi kesalahan sejarah manusia di masa lalu. Ingat: Menanggulangi kesalahan sejarah manusia di masa lalu bukan Mengulangi kesalahan sejarah.
***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun