Dulu saya sempat akrab dengan malaria. Bukan karena saya pernah mengidap malaria (Alhamdulillah) tapi karena saya pernah meneliti tentang malaria untuk klien kantor, sebuah organisasi internasional yang memang berplatform mengentaskan kemiskinan di seluruh dunia.
Waktu itu, bulan Februari tahun 2009. Saya belum resmi bekerja di kantor yang sekarang tapi sudah harus pergi ke Kupang untuk penelitian ini. Luar biasa, tugas pertama langsung diminta untuk ke Kupang selama 2 minggu. Karena tugas yang mendadak ini, ketua tim peneliti pun minta saya untuk membawa seorang teman yang dapat membantu penelitian. Langsung lah saya cari teman yang bisa pergi ke Kupang selama 2 minggu. Tidak mudah, karena ketika itu banyak teman saya yang masih berjibaku dengan skripsi dan ada juga yang sudah bekerja. Serta pikiran mengenai Kupang, jelas berbeda jika saya ajak teman untuk ke Bali. Hahaha…
Tersebutlah seorang teman yang bernama “Ulfi”. Stres. Itu reaksi pertamanya saat saya telepon untuk ke Kupang. “Gila…malaria, Dev,” katanya dengan panik di telepon. Saya jawab dengan santai, “Iya, malaria. Terus?” Saat itu sungguh saya tidak ada gambaran sedikit pun tentang malaria.
Ulfi: “Yawda, gw tanya nyokap dulu ya…”
Saya: “Cepat ya Fi, soalnya kita bakal berangkat beberapa hari lagi.”
Tak lama Ulfi pun mengabari saya bahwa dia siap untuk ke Kupang dengan syarat bahwa ia harus diberi waktu ke rumah sakit untuk melakukan suntik anti malaria.
Ulfi: “Dev, lo gak mau suntik juga?”
Saya: “Hah…ngapain?” (antara jiwa metal, cuek dan bodoh gabung jadi satu).
Setelah briefing 60 menit di kantor, kami pun siap untuk ke Kupang keesokan harinya.
I have no idea about Kupang and Malaria. Really.
Silahkan baca di sini tentang cerita mengenai Kupang pertama kali
Kupang dan Malaria
Beberapa waktu lalu, saat saya membaca di twitter, ramai orang yang membicarakan malaria dan menjadikannya hastag #malaria. Oh…ternyata saat itu hari malaria sedunia.
Membuat saya kembali mengingat tentang penelitian itu. Mmm…gak bisa ngomong banyak sich tentang hasil penelitian, hehehee….rahasia katanya.
Paling tidak yang bisa di-sharing di sini adalah bahwa masyarakat Kupang sangat tanggap dengan masalah malaria, maklum Kupang adalah daerah endemik malaria. Penanganan pertama yang akan mereka lakukan jika ada seseorang yang panasnya naik turun adalah segera ke Puskesmas dan di sana para kader Puskesmas (ah…Pak Frans, apa kabarnya beliau?) akan segera mengadakan tes malaria. Tesnya sama seperti tes kehamilan, jika ada dua tanda maka positif dan jika hanya 1 garis merah maka negatif. Yang berbeda dengan tes kehamilan adalah bukan dengan urin melainkan dengan darah yang diambil di tangan kiri, tenang hanya 1 tetes darah kok.
Sewaktu kami meneliti desa Lapeom, kami pun mencoba tes ini hasilnya saya dan 3 orang teman negatif.
Kembali ke penanganan pertama malaria oleh masyarakat NTT. Jika kiranya mereka terindentifikasi malaria maka mereka akan mencoba meminum rebusan daun papaya. Jadi, mereka tidak langsung minum obat dokter kecuali jika selama 3 hari mereka tetap sakit, baru dech mereka minum obat dokter. Dan sebagian dari mereka ada yang mempercayai bahwa dengan memelihara ikan nila di depan rumah, maka ikan-ikan tersebut akan memakan bibit nyamuk anopheles.
Banyak cerita sedih yang berputar-putar di kepala saya ketika mereka menceritakan tentang malaria ini.
Ada NGO internasional yang memberikan kelambu untuk masyarakat tapi karena mereka membutuhkan uang, mereka pun menjual kelambunya di pasar. “Lumayan untuk makan,” kata seorang narasumber.
Ada pula masyarakat yang terlambat mendapatkan pengobatan layak saat diketahui menderita malaria. Penyebabnya klise: transportasi dan biaya.
Sungguh sulit untuk mengatakan bahwa “Yuk, jangan gantung pakaian di dalam rumah” atau “Yuk, pake obat nyamuk”.
Bicara tentang obat nyamuk, saya lupa di desa mana, saya (maaf ketika itu sungguh tidak sopan), nyamuk mengigit kaki dan muka saya. Gatal luar biasa. Seorang teman membawa obat nyamuk cair. Saya pun otomatis mengoleskan obat nyamuk itu di depan para narasumber yang sedang kami wawancarai. Seorang bapak takjub melihat saya sambil bertanya, “Nona, itu apa?” Saya pun menjawab, “Obat nyamuk cair.”
Bapak itu bingung dan bertanya bolehkah ia mencobanya. Saya pun langsung memberikan obat nyamuk cair itu dan bertanya, “Bapak belum pernah lihat?”
Bapak itu singkat menjawab “Belum” sambil membagikan obat nyamuk itu ke teman-temannya.
Saya dan teman hanya bisa tersenyum miris dalam hati. Sebuah desa yang menjadi pusat malaria, tidak pernah tahu tentang obat nyamuk cair. Miris.
Dan langkah yang saya dan tim ambil untuk menghindari malaria adalah setiap malam kami menyemprotkan obat nyamuk di hotel. Berusaha memastikan tidak ada nyamuk anopheles di hotel kami dan menggunakan baju dan celana panjang serta kaos kaki saat tidur.
Kami pun kembali ke Jakarta dengan beragam pendapat dan pikiran mengenai Kupang dan Malaria.
Saat kembali ke Kupang di tahun 2010, saya mendapat kesempatan menyenangkan untuk tinggal di sana selama 1 bulan (yeay…) dan melakukan penelitian dengan tema yang jauh berbeda dengan malaria.
Tapi Kupang tetaplah Kupang, dimana malaria masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Seorang teman yang pernah terkena malaria, hanya berkata “Aku cuek aja ah ke Kupang. Toh udah pernah kena jadi udah kebal.”
Lucu juga ya…
Satu bulan di Kupang, sakit gigi, demam, flu…rempong!
Pulang ke Jakarta, saya panik karena demam naik turun selama kurang lebih 3 hari, takut terkena malaria. Syukurlah, bukan malaria, hanya kelelahan.
Saya pun menyadari malaria di Kupang bukan sekedar penyakit tapi sudah mencakup mengenai masalah ekonomi, kemiskinan, politik, sosial dan budaya. Kompleks.