Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Udah Bukan Jaman “Jam Karet”

23 Februari 2010   03:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:47 140 0

Aku baru saja pulang dari sebuah RS di bilangan Jakarta Selatan. Aku sampai di RS jam 8.10 WIB tetapi dokter baru datang 10 menit kemudian. Selain aku, ada juga satu pasien yang sedang menunggu. Seorang wanita muda yang aku perkirakan usianya tidak terlalu jauh berbeda dari aku. Akhirnya sambil menunggu dokter, aku dan Mbak itu mengobrol. Dia bertanya, “Mbak masih kuliah?”. Aku menjawab “Enggak Mbak, aku sudah kerja.” (Dalam hati saya tersenyum karena senang masih dilihat sebagai seorang mahasiswa he…). Terus aku bertanya, “Mbak kerja? Dimana?”. Kemudian Mbak itu pun menjawab dengan jelas mengenai job desknya di kantor dan ternyata letak kantornya tidak terlalu jauh dari kantorku. Jadi arah pembicaraan kami berujung tentang kemacetan di wilayah kantor kami. Aku bilang, “Iya nich Mbak, aku aja nanti pulang dari sini mau naik bajaj biar gak telat ke kantor. Mbak masuk jam berapa?”. Jawabannya adalah “Sebenarnya sich udah masuk dari tadi”. Aku pun kaget, “Hah? Terus gimana? Telat dong?”. Dengan santainya Mbak itu menjawab, “Yang lain juga telat yawda…gampang nanti aku bilang aja ke temanku kalo aku telat. Jam karet Mbak”. Aku hanya bisa tersenyum dan miris mendengarnya.

JAM KARET

“Jam Karet” = terlambat. Sebuah istilah yang biasa diasosiasikan dengan kebiasaan terlambat.

Menurut aku, kebiasaan terlambat untuk hadir di sebuah acara atau pertemuan merupakan sebuah kebiasaan yang tidak bagus sama sekali. Tidak adanya kedisiplinan waktu pasti akan menghambat produktivitas dan kinerja sebuah perusahaan, selain itu – untuk jangkauan yang lebih luas lagi – akan mencerminkan budaya bangsa yang buruk di mata bangsa lain. Istilah sederhananya, “bagaimana bisa menjadi seseorang yang dihargai jika tidak bisa menghargai waktu orang lain?”.

Mungkin bagi sebagian orang, terlambat adalah hal yang biasa. Aku pun juga pernah terlambat datang ke kantor. Setiap orang pasti akan “jago” membuat alasan keterlambatannya. Tapi, secara jujur, terlambat itu tidak enak dan tidak ada manfaatnya.

Jika terlambat di kantor, pekerjaan yang seharusnya sudah bisa dikerjakan sejak pukul 9 pagi ternyata baru dikerjakan pukul 9.10 artinya adalah akan semakin lama tugas tersebut selesai. Selain itu, akan ada tatapan yang kurang menyenangkan dari rekan kerja dan yang lebih parah lagi, jika kita sering datang terlambat, kita akan dicap sebagai orang yang tidak berdisiplin. Artinya nama baik kita akan sedikit tercoreng. Hal itu bukanlah sesuatu yang kita harapkan di dunia kerja.

Jika sebuah perusahaan tidak “keras” terhadap karyawannya yang sering terlambat maka perusahaan tersebut akan dicap sebagai perusahaan yang tidak kredibel. Hal ini juga akan berpengaruh kepada penilaian klien terhadap perusahaan.

Oleh karena itu, baik karyawan maupun perusahaan sama-sama mempunyai tanggung jawab moral untuk menjaga nama baik. Jika hal ini bisa diaplikasikan sehari-hari maka besar kemungkinan etos kerja masyarakat Indonesia bisa berubah. Tidak lagi malas bekerja, tidak lagi terlambat masuk kantor, tidak lagi datang pagi hanya karena gajian, tidak lagi datang paling siang dan pulang paling cepat, dsb.

Tiba-tiba aku jadi teringat dengan ucapan Mario Teguh di Metro TV seminggu lalu, “Pekerjaan yang paling sedikit saingannya adalah pekerjaan yang dilakukan dengan sepenuh hati.”

Jadi, marilah kita berlomba-lomba untuk menjadi seseorang yang selalu on time saat janjian dengan siapapun dan di mana pun. Tidak ada kerugian yang akan kita dapatkan jika selalu menjadi seseorang yang tepat waktu.

-Deva-^_^

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun