Jangan melupakan sejarah, ini adalah sebuah kalimat dari Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno, sungguh sangat dalam artinya. Berbagai kata-kata mutiara yang berkaitan dengan sejarah sering dilontarkan oleh tokoh-tokoh besar, seperti pernyataan "
bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya". Sepatutnyalah kita sangat bangga, bangga terhadap bangsa ini, Negara Kesatuan Republik Indoensia. Sejarah mencatat diseluruh pelosok tanah air, begitu hebatnya perjuangan-perjuangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaannya dari tangan-tangan kolonial penjajah. Dari bumi Serambi Mekah kita mengenal Tjut Nyak Dhien, di tanah Jawa kita kenal ada Pangeran Diponegoro, di Indonesia Timur ada Pattimura, itu hanya nama yang sangat akrab di telingga penulis, tentunya sangat banyak catatan Pahlawan Nasional kita. Salah satu heroiknya perjuangan terhadap kolonial Belanda adalah perjuangan rakyat Kesultanan Banten, dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa dengan terus-menerus tiada henti sampai dengan titik darah penghabisan terus memperjuangan hak-hak rakyat di atas tanah dan bangsanya sendiri. Kita mengenal Kesultanan Banten merupakan salah satu Kerajaan besar yang pernah ada. Sebagai daerah sekaligus sebuah bangsa, Banten telah lama dikenal dalam peta masyarakat dunia. Berbagai sumber asing menyebutkan Banten (saat itu dikenal dengan Bantam) sebagai satu dari beberapa daerah yang menjadi rute pelayaran mereka, mulai dari sumber Cina yang berjudul Shung Peng Hsiang Sung (1430), hingga berita Tome Pires (1512). Pun dalam berbagai sumber pustaka nusantara, Banten dikenal dengan berbagai nama misalnya: Wahanten Girang dalam naskah Carita Parahiyangan (1580), Medanggili dalam Tambo Tulangbawang, Primbon Bayah, serta berita Cina (abad ke-13) dan lain-lain. Berbagai sumber tersebut setidaknya mampu menggambarkan betapa Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten yang berada di jalur perdagangan internasional, berinteraksi dengan dunia luar sejak awal abad Masehi. Kemungkinan pada abad ke-7 Banten sudah menjadi pelabuhan internasional. Dan berbagai konsekuensi logisnya, Islam diyakini telah masuk dan berakulturasi dengan budaya setempat sebagaimana diceritakan dalam berita Tome Pires pada tahun 1513. Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Tata administrasi modern pemerintahan dan kepelabuhan sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonomian masyarakat. Ketika orang Belanda tiba di Banten untuk pertama kalinya, orang Portugis telah lama masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan loji di Banten dan disusul oleh orang Belanda. Sebagaimana dengan daerah-daerah sebelumnya, Belanda melalui VOC-nya ingin menguasai perdagangan Banten. Konflik antara Banten dengan VOC semakin tajam ketika VOC memperoleh tempat kedudukan di Jayakarta yang kemudian dirubah menjadi Batavia. Persaingan dagang dengan Banten tak pernah berkesudahan. VOC mengadakan siasat blokade terhadap pelabuhan niaga Banten, melarang dan mencegah jung-jung (kapal dagang) dari Cina dan perahu-perahu dari Maluku yang akan berdagang ke pelabuhan Banten yang membuat pelabuhan Banten hampir lumpuh. Dengan mempergunakan metode pecah belah diantara pejabat dan kerabat Keraton, akhirnya Kesultanan Banten praktis lumpuh dibawah kekuasaan kolonial Belanda pada tanggal 17 April 1684. Demikian gambaran singkat tentang Kesultanan Banten. Kini, peninggalan-peninggalan kebesaran Kesultanan Banten hanyalah tinggal reruntuhan bangunan. Reruntuhan Kesultanan Banten menjadi obyek wisata sejarah yang sangat menarik, selain sebagai pusat studi sejarah Banten, obyek wisata ini pula menjadi pusat agama dan budaya di Banten. Beberapa tempat yang pantas untuk dijadikan rujukan berwisata sejarah di Banten antara lain:
1. Masjid Agung Banten. Masjid Agung Banten termasuk masjid tua yang penuh nilai sejarah. Setiap harinya masjid ini ramai dikunjungi para peziarah yang datang tak hanya dari Banten dan Jawa Barat, tapi juga dari berbagai daerah di Pulau Jawa.Masjid Agung Banten terletak di Kompleks bangunan masjid di Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang. Masjid ini dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama Kasultanan Demak. Ia adalah putra pertama Sunan Gunung Jati.Di masjid ini juga terdapat komplek makam sultan-sultan Banten serta keluarganya. Yaitu makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan lainnya.
2. Keraton Surosowan. Berdiri dan dibangun dengan kata "Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis" yang arti bebasnya adalah "Membangun kota dan perbentengan dari bata dan karang". Takluknya Prabu Pucuk Umun di Wahanten Girang (sekarang di kenal dengan daerah Banten Girang di Kecamatan Cipocok Jaya Kota Serang - Wahanten Girang merupakan bagian wilayah dari Kerajaan Padjadjaran yang berpusat di Pakuan - sekarang di kenal dengan wilayah Pakuan Bogor) pada tahun 1525 selanjutnya menjadi tonggak dimulainya era Banten sebagai Kesultanan Banten dengan dipindahkannya Pusat Pemerintahan Banten dari daerah Pedalaman ke daerah Pesisir pada tanggal 1 Muharam 933 Hijriah yang bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 (Microb dan Chudari, 1993:61). Kini, Keraton Surosowan tinggal puing-puing setelah diruntuhkan oleh Belanda. Karena kedahsyatan perjuangan rakyat Banten pada waktu itu, dan agar tidak menimbulkan benih-benih perjuangan nantinya, seluruh bangunan Kesultanan Banten dihancurkan, sebagian besar material bangunan diambil dan dialihkan untuk membangun Pusat Pemerintahan Hindia Belanda di Serang, sebagai pusat pemerintahan baru. Bangunan tersebut kini digunakan sebagai Pendopo Gubernur Banten.
3. Keraton Kaibon. Keraton Kaibon merupakan salah satu bangunan utama pada masa Kesultanan Banten (1526-1684), terpisah dari kompleks Keraton Surosowan sebagai pusat pemerintahan. Hal ini merupakan tradisi masyarakat Jawa dimana Keraton Kaibon merupakan tempat tinggal para istri (Ratu) dan Putri-putri Kesultanan. Dengan kata lain yang lebih populer bahwa Keraton Kaibon adalah Keputrennya Kesultanan Banten. Terletak kurang lebih 2 km dari Pusat Pemerintahan Keraton Surosowan yang dikelilingi persawahan dan jalur transportasi sungai (atau lebih tepatnya kanal khusus yang dibuat pada waktu itu). Keraton Kaibon menghadap ke Barat (ke Keraton Surosowan/Masjid Agung Banten) yang didepannya terdapat kanal sebagai sarana transportasi menuju dan ke Keraton Surosowan. Kini, reruntuhan Keraton menjadi pusat bermain bagi anak-anak masyarakat lingkungan sekitar, seperti bermain bola atau sekedar tempat nongkrong. Sehingga tempat bersejarah ini dikawatirkan akan mengalami kerusakan yang lebih cepat bila tidak diisolasi layaknya peninggalan sejarah.
KEMBALI KE ARTIKEL