Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum

Berpikir Ulang untuk Demokrasi dan Pemilu Kita

14 April 2022   16:47 Diperbarui: 18 April 2022   11:01 529 4
Wacana tentang demokrasi, pemilu dan rakyat selalu menjadi perbincangan yang jelas bagi kita. Apalagi jika suasana tahapan pemilu lima tahun 2024 mulai kental. Dinamika politik, wacana pencalonan angkringan dan mind mapping gerakan partai telah memoles gaya politik kita saat ini.

Namun, pertanyaan tetap ada tentang isu-isu mendasar dan substantif seputar demokrasi, tentang makna ritus pemilu yang kita rayakan dengan partai-partai berkala, atau tentang fantasi bangsa yang menciptakan cita-cita negara, "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Mungkinkah ada nilai luhur dalam pemilu yang hanya bermain untuk kepentingan elit politik?

Pertanyaan ini memicu ide-ide baru untuk memberikan catatan kritis tentang demokrasi dan pemilu kita. Aktivitas politik yang tidak sehat, yang dapat merugikan mentalitas dan rasionalitas negara di masa depan, harus diantisipasi dengan argumentasi dan langkah yang progresif.

Nur Elya Anggraini memaparkan secara rinci demokrasi dan kerentanan politiknya dalam pemilu dalam buku Insider's Notes (2022). Namanya juga sengketa politik, kepentingan menang akan dilakukan. Namun, ada secercah harapan dalam pernyataan penulis berikut ini, yang diyakini mampu menata kembali demokrasi kita. Pertanyaannya, apakah kekuatan masyarakat sipil mampu mengendalikan ini?

Inilah alasan mengapa kaum sofis di zaman Yunani kuno mengandalkannya untuk meniadakan sistem demokrasi dalam kegiatan kenegaraan. Bagi mereka, perumusan kebijakan yang dihasilkan oleh sistem demokrasi hanya menghancurkan tatanan negara yang ideal. Karena kaum sofis melihat banyak individu yang tidak bijak dalam menggunakan haknya. Dasarnya bukan akal, tapi realitas kepentingan

Belajar dari Pemilu Lalu

Ada banyak evaluasi dari pemilu yang lalu. Misalnya, penghancuran isu kontrapropaganda, kekerasan fisik dan mental terhadap polisi, serta politisasi suku dan agama sebagai bagian dari politik identitas, dan yang paling ironis, praktik politik uang. Persaingan telah menjelma di pasar, transaksi suara tersebar di mana-mana. Hal ini tentu saja dilakukan untuk menjatuhkan lawan dalam peristiwa politik dan merumuskan isu dan doktrin untuk menarik perhatian publik.

Kemudian situasi pandemi dan kehendak digitalisasi. Covid-19 dan dunia maya yang menjadi bagian dari doktrin perubahan telah mendikte terbentuknya tatanan baru, termasuk sistem pemilu. Masalah yang kita hadapi tentu lebih kompleks. Politik buta yang telah kehilangan martabat moralnya menjadi sistematis dan masif di ruang digital. Itu menjadi suara tersembunyi di mana jari-jari yang menari dapat menghancurkan kewarasan kita dalam satu gerakan. Seperti sirkulasi kebijakan moneter pada Pemilu 2014, distribusi publik yang diametral pada Pemilu 2019, hingga Pilkada 2020 yang sarat dengan politisasi bantuan sosial di tengah defisit pemerintah akibat pandemi.

Dengan demikian diperlukan upaya untuk menghidupkan kembali kesadaran kolektif masyarakat melalui proyeksi tatanan sosial borjuis yang ideal dalam konsep negara dengan sistem demokrasi. Fenomena demokrasi dewasa ini perlu disegarkan dengan ide-ide yang jernih.

Ide-ide cerdas tersebut antara lain membentuk pemilih partisipatif, fokus pada keterlibatan perempuan, membangun literasi digital, membangun karakter ideal petugas baik secara pengalaman maupun moral (pemimpin sosial), dan menginisiasi big data sebagai pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat. Dalam hal ini KPU dan Bawaslu harus mampu menyeimbangkan antara situasi dan tantangan pemilu yang semakin sulit dari waktu ke waktu.

Bawaslu bahkan membuat terobosan baru untuk mengatasi kekurangan dan menyesuaikan dengan relevansi perkembangan zaman. Sebagai contoh, banyak kegiatan dan kerangka kerja telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Seperti penyelenggaraan Sekolah Bingkai Pengawasan Partisipatif (SKPP) yang banyak melibatkan generasi muda secara berani (2020), penataan ulang sistem pemantauan pemilu yang cepat dan akurat di jaringan media (2021), pelatihan literasi dan desain yang cepat dan akurat. dari sistem pemantauan pemilu di jaringan media (2021), Hoof juga mengedarkan pelatihan hak asasi manusia dan akses digital (2021).

Namun kenyataannya, komitmen Bawaslu dan berbagai pihak di garda terdepan menjaga demokrasi selalu berbenturan dengan arogansi struktural dan dinamika kepentingan partai-partai tertentu setiap lima tahun sekali. Tak jarang, amunisi yang dibangun Bawaslu selama beberapa tahun ini musnah hanya dalam satu putaran pemilu.

Dialektika fenomenologis elektoral ini menunjukkan sisi demokrasi yang benar-benar hadir dalam diri setiap warga negara. Bawaslu hanyalah sebuah tanda (symbolicium) dari upaya menjaga demokrasi di negeri ini. Selebihnya, demokrasi bersama kita. Dia adalah harapan kolektif yang juga dapat dicapai melalui kemauan bersama. Burger sebenarnya adalah 'kata kerja' dalam demokrasi dan pemilu kita. Dalam arti, ia tidak hanya datang ke TPS, tetapi juga sebagai 'pengawas partisipatif' yang mengawasi proses pemilu dari hulu hingga hilir.

Pemilu adalah awal dari membangun pemerintahan yang ideal, yaitu belut yang terbaik. Partisipasi rakyat dalam perjuangan politik menentukan kualitas legitimasi yang diberikan. Biaya pemungutan suara yang luhur. Dalam demokrasi, suara seorang pekerja seks komersial (PSK) memiliki kualitas yang sama dengan suara seorang kiai. Rakyat, pemilu dan pemerintahan berada dalam lingkaran setan; Jika pemilu salah proses, maka akan mengakibatkan pemerintahan yang korup dan masyarakat yang pragmatis akan hak-haknya.

Pada tahun 2024, kita sekarang menghadapi peristiwa yang bersamaan. Kita harus membangun pola pikir dan rasionalitas demokrasi kita dengan belajar dari masa lalu. Tentu saja, evaluasi dan inovasi seputar demokrasi dan pemilu kita dapat dipertimbangkan kembali dan dilaksanakan. Sehingga kita bisa membangun demokrasi yang substansial, bukan hanya prosedural, dan bukan demokrasi seperti yang dicita-citakan Aspinal, 'demokrasi perdagangan'.

Mulai sekarang, kendalikan dinamika pemilu 2024. Gunakan hak suara kita dengan bijak. Hak yang tidak dapat dikomersialkan dalam rupiah. Setidaknya begitulah lemahnya kepercayaan menjaga demokrasi dewasa ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun