Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Generasi Xenomania

4 Oktober 2013   16:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:00 185 3
Zaman memang terus berganti. Perkembangan teknologi pun begitu pesat. Hal tersebut sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat dunia yang semakin terfokus pada “penghancuran” batasan budaya, dari satu bangsa ke bangsa yang lain. Sehingga mulai timbul diskursus globalisasi budaya sedunia. Alhasil, batasan budaya berbagai negara akan menjadi kabur. Samar.

Budaya sendiri berperan sebagai pembentuk karakter suatu bangsa. Secara nyata, budaya sangat mempengaruhi pembentukan paradigma masyarakat, misalnya cara pandang, gaya hidup, norma, atau bahkan dasar dari sebuah negara. Sayangnya, kearifan budaya tanah air tak lagi gemilang, sebab banyak generasi muda yang mulai tertular virus “xenomania”.

Xenomania merupakan penyakit tergila-gila terhadap sesuatu yang asing atau datang dari negeri asing, terutama dari segi budaya. Keruntuhan suatu bangsa dapat dilihat dari cara pandang generasi mudanya. Bagaimana cara kaum muda memberdayakan budaya bangsanya sendiri. Kalaupun mereka berdalih pada hasrat sementara untuk menggandrungi budaya negeri lain. Toh . . kebanggaan yang mereka tunjukkan terhadap budaya asing adalah jawabannya. Sadar atau tidak, budaya bangsa kita telah termarjinalkan.

Belajar budaya dan bahasa asing, tidaklah dosa. Malah sangat dianjurkan. Selain untuk menambah wawasan, kita dapat mencontoh keunggulan bangsa lain, semisal dengan menggali ilmu tentang pengembangan sistem teknologi, pemberdayaan masyarakat, dan pendidikan. Tetapi, dampak negatif dari adanya akulturasi dua budaya atau lebih, menjelma jadi momok yang menakutkan.

Kaum muda mulai terlena dalam buaian lantunan lagu asing atau terlelap dalam kisah drama asing. Mereka gandrungi budaya asing itu, tanpa pernah tahu bagaimana pengorbanan segelintir anak bangsa di kancah internasional. Mereka tak kenal lelah demi untuk mempromosikan dan melestarikan budaya bangsa. Meski sering bangsa ini mengacuhkan prestasi mereka. Hanya dijunjung, saat mereka menang. Lalu dibuang, ketika mereka kalah bersaing.

Salah satu indikasi terserang virus “xenomania” ialah kesenangan untuk beratribut bangsa lain. Begitu besar rasa percaya diri yang muncul hingga mampu melahirkan generasi xenomania yang baru. Kata “bangga” merupakan simbol pengkhianatan terhadap adanya budaya luhur Indonesia. Di hati mereka posisi budaya bangsa telah bergeser, menjadi yang kedua.

Sementara itu, semboyan “aku cinta produk Indonesia” hanya sebuah isapan jempol belaka. Generasi muda selalu digiring untuk mencintai produk luar negeri. Tanpa diarahkan untuk lebih bangga memakai produk asli Indonesia, walaupun kualitas merk dalam negeri tak kalah saing. Bahkan saya terkaget-kaget, ketika tahu banyak produk asli Indonesia yang sudah go international. Namun, tentu saja membanderol produknya sebagai merk keluaran luar negeri, sebab pembeli lebih gemar pada merk tersebut. Lantas apa gunanya menyerang bangsa lain karena telah mencuri budaya Indonesia?! Mengapa para generasi muda tak bertanya pada diri mereka sendiri. Apa benar bangsa lain mencurinya? Ataukah kita bangsa Indonesia memang tak sungguh-sungguh menjaganya.

Generasi muda adalah punggawa bangsa, yang seharusnya berdiri di garda paling depan. Bangga pada keluhuran budaya bangsa adalah sebuah penghargaan terhadap perjuangan para pahlawan. Janganlah mengkerdilkan bangsa ini, dengan bangga menjadi generasi xenomania. Mental dijajah harus segera dihapuskan. Pemujaan terhadap budaya ataupun bahasa asing, bukanlah karakter bangsa. Namun, jangan pula menjadi generasi muda yang berpikiran sempit. Tidak mau beradaptasi dengan adanya perbedaan dari budaya bangsa lain. Maka, tunjukkanlah kearifan budaya bangsa dengan tetap melestarikannya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun