Den, aku mau nikah seminggu lagi. berharap banget kamu bisa dateng.
Matahari pagi baru saja menyapa San Fransisco. Haight-Ashbury perlahan mulai terbangun. Bukit-bukit indah nan cantik menjadi pemandangan yang selalu membangkitkan semangatku di pagi hari. Sambil menyesap secangkir kopi robusta, aku mengeja huruf demi huruf dari pesan singkat yang dikirim Dina semalam.
Pikiranku melayang, mencoba menyebrangi pasifik yang ganas. Bau nasi goreng telur perlahan menusuk hidungku. Wangi teh melati, suara penyiar RRI yang tengah membawakan siaran selamat ulang tahun, bunyi baju yang bergesekan dengan lantai sumur, bunyi timba, dan suara Mak Tinah yang menjajakan gorengan tiba-tiba bergantian memenuhi telingaku.
“Hei, younglady! Your boss is calling!” Jane, roommate ku membangunkanku dari lamunan panjang yang menyesakkan dada. Ia menyerahkan ponselku lantas kembali sibuk menyiapkan sarapan.
“Thanks Jane. You saved me,”
“Anytime, by the way, I made special sandwich for you,”
Aku tersenyum lantas meninggalkan dapur agar lebih leluasa bicara dengan atasanku.
“Kita ada meeting nanti siang. Hanya kamu dan saya. Tepat pukul 01.00 p.m di La Piaza Café,”
Aku bengong sambil memegang ponsel yang masih dalam status hold. Ken memintaku menemuinya. Pertanda burukkah?
***
“Kamu sibuk banget ya? Sampai smsku nggak kamu bales? Jahat banget sih, masih gengsi juga untuk pulang ke rumah? Aku kecewa sama kamu Den,”
Aku pilih tombol delete dan kuhapus semua pesan dari Dina.
“Kenapa Den? Kayaknya kamu lagi banyak masalah?” Jane menghampiriku sambil membawa secangkir cokelat panas.
“Nggak ada apa-apa kok, it’s ok. Aku baik-baik saja,”
Jane memandangku tak percaya. Untung saja blackberry messengernya berbunyi. Cepat-cepat ia kembali ke kamarnya untuk meneruskan berbincang dengan kekasihnya.
Aku mengeluarkan hoddy cokelat kesayanganku. Kususuri jalan sepanjang golden gate park yang terkenal itu. La Piaza café berada tepat setelah golden gate park. Kulihat Ken tengah duduk di meja nomer 3. Ia terlihat asyik membaca buku menu. Boss sekaligus mantan kekasihku ini terlihat tampan sekali dengan T-shirt dan celana pendek army looknya. Kasual but stylish, itu yang aku suka darinya
“Hai,” kusapa Ken. Pemuda keturunan spanyol itu mendongak.
“Maaf membuatmu menunggu,”
“Tak masalah. Cappucino atau caramel late?”tawarnya kepadaku. Ah, ternyata dia masih mengingat dua minuman favoritku.
“Caramel late,”
“Spinach or orange squash?” giliran aku bertanya balik.
Ken tertawa mendengar tawaranku. Mungkin dalam hati ia berkata, ternyata aku masih mengingat dua minuman favoritnya.
“Orange squash,”
“Good choice,”
Kami saling terdiam cukup lama. Ken menatap jalanan dan aku pura-pura sibuk meng-update websiteku. Dulu kita sama sekali tak seperti ini. dulu kita sepasang kekasih yang saling mencintai. Bahkan dulu waktu kita sama-sama bekerja di Indonesia, kita tak pernah sekaku ini.
“Istrimu, bagaimana kabarnya?” tanyaku penuh dengan kegetiran.
“Baik, bagaimana dengan Rory?” tanyanya. Rory adalah kucing kesayanganku. Tepatnya hadiah dari Ken. Hadiah yang diberikan untuk mengenang 3 tahun hubungan kita.
“Baik, dia semakin gendut,” jawabku.
“Mengenai surat pengunduran dirimu, apakah kamu serius?” Ken menatapku.
“Tentu saja. aku tak pernah bercanda untuk hal sepenting itu,”
“Apakah aku membuatmu tak nyaman?”
Dasar bodoh. Tentu saja, bekerja di bawah kendali mantan pacar yang sudah menikah adalah hal yang berat. Apalagi aku masih mencintainya.
“Kamu akan pulang ke Indonesia?”
“Mungkin,”
“Aku hanya ingin meminta maaf kepadamu Deny. Aku tak tahu semuanya harus berakhir seperti ini,”
Bodoh. Kalau dari awal kau tahu jika semuanya akan berakhir seperti ini, kau pasti tak akan memilihku untuk menjadi kekasihmu.
“Aku menyesal telah membuatmu sedih, aku memang bodoh. Aku harap kamu akan bahagia dengan laki-laki beruntung yang akan mendapatkanmu. Aku sungguh menyesal, Deny,”
“Oke,”
Setelah basa-basi yang tidak begitu penting, Ken berpamitan pulang. Aku tersenyum getir memandang silhuet tubuh Ken yang menghilang bersama mobilnya. Seandainya, seandainya aku bisa memutar waktu.
“Bukan kamu yang salah Deny. Tapi dia! Ken yang telah menghianatimu! Kau tahu kan kalau dia selingkuh dengan teman sekantornya yang lebih pantas di panggil jalang daripada seorang princess?” nasehat Jane kepadaku.
“Seharusnya dulu aku bisa memaafkannya, Jane,” aku menatap lamat-lamat fotoku dengan Ken.
“Kamu aneh. Apa yang kamu lakukan itu sudah benar. Memutuskannya! Meninggalkannya adalah hukuman yang setimpal,” Jane mengambil sebatang rokok lalu menghisapnya dalam-dalam.
Aku terbatuk menghirup asapnya. Jika sedang kesal kepadaku Jane pasti melakukan ini. aku yang tak tahan dengan asap rokok terpaksa harus menyingkir.
“Kau akan pulang ke Indonesia?” teriaknya.
“Maybe, saudara kembarku akan menikah, dan aku harus pulang apapun yang terjadi,”
Jane tersenyum. Akhirnya.
Dina akan menikah tepat seminggu lagi. itu berarti aku harus menepati janjiku untuk menjadi bridesmaidnya. Menyebalkan. Aku sama sekali tak menyukai pernikahan atau hal-hal yang berkaitan dengan upacara yang katanya sacral tersebut. Aku membenci pernikahan sejak Ken memutuskanku dan memilih mengikat janji dengan gadis Catalunya bermata indah itu. Aku mendegus kesal. Kesal sekali saat Dina bilang ia dilamar. Rifky melamarnya tepat di hari ulangtahunnya, tentu saja hari ulang tahunku juga. Aku iri? Mungkin. Dulu, dulu sekali kita berdua pernah merencanakan ini, merencanakan pesta pernikahan kita yang akan berlangsung di hari yang sama. Wedding party dengan dua pasang pengantin. Deny dan Dina, cantik sekali. Kami bersorak gembira memikirkan ini semua.
Namanya Rifky, seorang pemuda tampan asli Padang. Lulusan universitas ternama di Kota Semarang. Ia seorang dokter spesialis anak. Benar-benar pasangan yang ideal untuk gadis sebaik dan secantik Dina. Tepatnya dokter Dina. Saudara kembarku yang seribu kali lebih baik dariku. Dina lebih pintar, lebih cantik, lebih terkenal dan ia punya banyak teman. Aku? Apa sih yang bisa dibanggakan dari seorang penulis lepas yang bahkan kerjanya belum bisa tetap ini? paling yang sering membuat Dina iri adalah kesempatanku untuk jalan-jalan ke luar negeri. Bahkan sekarang aku tinggal di kota impiannya.
“Ibu nggak bilang kalau ibu melarang hubungan kalian, tapi Ken itu orang Amerika. Orang luar negeri, nggak sama kayak kita. Ibu sih inginnya kamu menikah sama orang sini saja. memangnya laki-laki Jawa yang cakep dan mapan itu sudah habis ya? Sampai-sampai kamu harus memilih produk luar?”
Saat itu aku hanya terdiam mendengar pertanyaan ibu. Aku tahu benar jika ibu tidak menyukai Ken. Alasannya sepele, ya, karena Ken bukan orang Indonesia asli. Itu saja.
Aku memilih untuk keluar dari pekerjaanku di Jakarta dan pindah ke Amerika juga karena Ken. Cinta yang membawaku kesini. Ke sebuah kota dengan pantai dan bukit-bukit yang indah. aku beruntung mengenal Ken, sungguh, aku tak pernah menyesalinya. Bahkan, dulu sebelum semua ini harus berakhir menyedihkan, aku berani bermimpi, menjadi ibu dari anak-anak Ken.
Aku tak percaya melihat wajahku di cermin. Wajah kuyu karena terlalu asyik di depan laptop. Wajah kurang tidur dengan kantung mata yang semakin menebal. Berkaleng-kaleng jus penuh pengawet, keripik kentang, dan permen karet berbagai rasa menemaniku menghabiskan malam-malam yang menyakitkan. Ya, sejak Dina memberi tahuku kalau ia akan menikah, aku mulai membenci malam. Sepertinya aku berubah menjadi kerdil dan mengecil jika malam mulai menyapa. Bayang-bayang Dina, Rifky, Ken dan Ibu bergantian silih berganti.
“Deny, cepatlah! Atau kau akan ketinggalan pesawat,” Jane meneriakiku dari mobilnya. Entahlah, dari dulu Jane membenci hubunganku dengan Ken. Dari dulu Jane selalu menyuruhku pulang. Lebih baik mencari jodoh di negeri sendiri, katanya. Ah, dasar Jane, gadis blasteran Jakarta-Minnesota ini memang ekstentrik.
“Kamu nggak bakalan menyesal pulang ke Indonesia, ingatlah, banyak cowok-cowok cakep disana, aku bahkan pengin punya suami orang Indonesia asli hehehe,” jane berbisik centil kepadaku. Fiuh, apaan, aku pulang ke Indonesia hanya ingin membayar lunas hutangku. Hutang janjiku dengan Dina. Tak lebih. Bahkan aku sudah memesan tiket pulang ke San Fransisco dua minggu setelah kepulanganku ke Solo.
Jane memelukku erat sekali. Bulir bening tak kuasa ia tahan dan runtuh begitu saja saat aku balas memeluknya.
“Dasar cengeng, ngapain sih nangis? Bukannya kamu pengin banget aku pulang ya?” ledekku. Jane tersenyum sambil menangis. Jelek sekali ekspresinya.
Aku menarik koporku dan segera melewati petugas imigrasi. Sebentar lagi burung besi akan membawaku pulang. Membawaku kembali menghirup wangi teh melati khas ibuku. San Fransisco-Singapore-Jakarta, itulah rute yang akan kulalui. Perjalanan melelahkan dan panjang harus aku tempuh demi Dina. Dan juga ibu.
Subuh di Singapore. Sambil terkantuk-kantuk dan pusing karena jetlag maka kuputuskan untuk mendinginkan kepalaku di BreadTalk. Aku memesan sepotong rainbow cake dan secangkir cokelat panas.
Hapeku berbunyi, ada pesan dari Dina.
Nyampe mana Den?
Baru nyampe Singapore. Transit.
Nyampe Jakarta kira-kira jam berapa?
Sepuluh pagi
Oke. Tapi maaf aku gak bisa jemput, tapi tenang aja, aku nyuruh Rifky jemput kamu.
H-4 jam untuk bertemu Rifky, Dina dan Ibu. Sungguh, ingin sekali aku menelpon Ken dan meyuruhnya kesini.
Aku mendegus kesal. Bahkan untuk urusan cinta aku kalah dengan Dina. Mungkin akan ada julukan baru untukku, Deny si pecundang. Huh, ingin rasanya aku memesan tiket pesawat untuk pulang kembali ke San Fransisco. Ya, meskipun disana aku tak memiliki Ken lagi, setidaknya aku terhindar dari perasaan menyakitkan ini.
Sudahlah Dina, aku menyerah. Pulangku kali ini sepertinya membuktikan jika kamu selamanya akan jadi pemenang dan aku pecundang.
Semarang, 28 Sept 2012
Nowplaying : Jar of Hearts (Christina Perry)