Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Aku dan Cintanya

10 Februari 2012   06:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:50 411 1

Mentari pagi tampak malu-malu muncul dari peraduannya. Sinarnya masuk ke kamarku melalui celah-celah jendela. Kulirik jam wekerku, tepat pukul 06.00. Huh, lagi-lagi aku tertidur seusai shalat shubuh tadi. Kulirik handphoneku yang tergeletak sembarangan di atas meja kerjaku, ada satu panggilan tak terjawab dari Tante Widi. Aku biarkan saja, tak ada maksud untuk menelponnya balik. Omong-omong tentang Tante Widi, aku jadi teringat dengan sahabatku Bella. Anak perempuan satu-satunya dari pernikahan Tante Widi dan Om Danar itu telah menjadi sahabatku sejak usiaku belum genap tujuh tahun. Kami memang selalu menghabiskan waktu bersama, hingga sekarang kami bekerja di tempat yang sama pula. Bella, gadis enerjik yang selalu membuat hari-hariku berbeda, gadis yang penuh semangat dan selalu ceria. Namun itu cerita dua tahun lalu, entah kenapa akhir-akhir ini Bella berubah.

Tepat pukul 10.00 Tante Widi berkunjung ke rumahku. Ternyata panggilan tak terjawab tadi pagi itu untuk mengabarkan kedatangannya hari ini. Namun kali ini raut wajah Tante Widi tampak kuyu, tidak seperti biasanya. Mungkin karena terlalu lelah menempuh perjalanan dari Solo ke Jakarta.

“Kamu nggak kerja Ben?” Tanya tante Widi padaku.

“Libur Tante, ini kan hari Sabtu”

Tante Widi menepuk jidatnya, menyesali bahwa ingatannya makin lemah saja dimakan usia.

“Ben, kamu masih kerja di tempat yang sama dengan Bella kan?”

Aku mengangguk.

“Kenapa Tante, ada sesuatu dengan Bella?” Tanyaku penasaran.

“Seharusnya Tante yang nanya itu ke kamu, kamu kan yang sering ketemu sama Bella”

Kami memang bekerja di kantor yang sama, namun bidang kami berbeda. Posisi Bella satu tingkat di atasku, kariernya memang cepat menanjak setiap tahun. Karena kesibukannya, kami jadi jarang bertemu walau hanya untuk mengobrol sejenak.

“Ben, Tante ingin minta tolong sama kamu”

“Minta tolong apa Tante?”

“Yakinkan Bella untuk mau Tante jodohkan dengan Rian” Bisik Tante Widi pelan.

Aku mengernyitkan dahi. Bingung.

“Rian itu loh temanmu dulu waktu kuliah. Sekarang dia jadi direktur perusahaan telekomunikasi. Menurut Tante, dia cocok banget dengan Bella” Tante Widi tersenyum penuh kepuasan. Sepertinya Rian lolos seleksi sebagai calon menantu terfavorit untuknya.

“Apa Bella mau dijodohkan?” Tanyaku hati-hati. Takut tante Widi tersinggung.

“Sebenarnya Tante nggak tega menggunakan cara ini, tapi lihat saja Ben, Bella sudah 28 tahun, sebentar lagi dia akan berkepala tiga. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda dia akan mengenalkan calon suaminya.” Tante Widi menggeleng pelan, sepertinya dia kehabisan cara untuk memaksa Bella menikah.

Tante Widi memang tak sepenuhnya salah, Bella memang terlalu cuek untuk masalah ini. Sebenarnya sudah banyak laki-laki yang mengantri untuk meminang Bella. Namun, lagi-lagi jawaban Bella tetap sama. Belum ada yang “sreg” Ben, katanya santai.

“Kamu tahu Ben, anak laki-laki Pak Bupati saja ia tolak. Padahal Tante tahu, Deni sudah lama menyukai Bella. Tante takutnya dia tak akan menikah sampai umurnya melebihi 30, apa kata tetangga dan sodara di Solo?”

Suara Tante Widi mulai melemah, ada bulir-bulir air mata jatuh di pipinya yang mulai keriput.

“Tolong ya Ben, bantu Tante. Kamu saja yang laki-laki sudah menikah dan punya anak. Padahal kalian seumuran kan?”

Aku tersenyum, menganggukan kepala tanda mengiyakan pertanyaan dan permintaan beliau.

“Yaudah Tante pamit, salam buat istri dan anakmu.”

Aku mengantarkan beliau sampai teras rumah. Wajah cantik itu mulai renta dimakan usia. Jalannya juga tak secepat dulu. Tante Widi memang perempuan tegar, ia mampu merawat kelima anaknya seorang diri setelah perceraiannya dengan Om Danar. Ah, mengingat itu aku harus cepat-cepat menghubungi Bella dan mengajaknya untuk segera bertemu.

Malam ini bulan bersinar terang. Udara kota Jakarta yang selalu panas dan sumpek membuatku ingin cepat-cepat sampai di rumah. Menonton televisi dan bercengkrama bersama keluarga. Namun, harapan itu pupus setelah teringat janjiku dengan Bella. Aku harus menemuinya sekarang di kafe favorit kami.

Suasana kafe tampak ramai, kebanyakan didominasi oleh pekerja kantoran sepertiku. Aku mengambil posisi duduk di meja favorit kami berdua yang kebetulan kosong tanpa pelanggan.

“Maaf Ben aku terlambat” Tiba-tiba seorang wanita dengan blazer putih, rok hitam dan sepatu hak tinggi favoritnya mengambil posisi duduk tepat di depanku. Merapikan rambut hitamnya yang berantakan.

“Selalu saja begini, dasar Miss.Bussy” Kataku pendek.

Bella tersenyum jahil.

“Tumben kamu mau ketemu aku Ben, kangen ya?”

Aku tersenyum kecil sembari mencomot kentang goreng balado favoritku. Malam ini kami gunakan untuk mengobrol dan mengenang masa-masa indah persahabatan kita saat masih muda dulu. Sampai akhirnya aku teringat tujuan utamaku menemui Bella sekarang.

“Kapan kamu menikah?” Tanyaku serius pada Bella di sela-sela obrolan kami.

“Mukamu serem Ben, takut ah” Bella tergelak mendengar pertanyaanku.

“Pertanyaanku serius Bel” Kataku pendek.

Bella terdiam beberapa saat, menerawang jauh ke langit-langit kafe.

“Entahlah...aku tak terlalu memikirkan urusan itu”

Bella menarik nafas pelan, sepertinya ada sesuatu yang dirahasiakannya dariku.

“Bagaimana dengan Doni, Adam, dan Wisnu? Mereka masih mengharapkan cintamu Bel” Aku mencoba memberi pilihan padanya.

“Aku nggak suka mereka” Jawabnya singkat.

“Bagaimana dengan Rian? Aku dengar dia telah sukses sekarang. Cocok banget sama kamu.”

Bella tak merespon pertanyaanku, untuk beberapa menit kami terdiam.

“Bella, aku akui kamu itu wanita yang sempurna. Kamu cantik, kariermu sukses dan kamu adalah wanita yang baik. Kenapa kamu tak mau mencoba membuka hatimu untuk mereka?” Tanyaku serius.

“Ben, coba kamu ulangi kata-katamu tadi”

Aku mengernyitkan dahi, bingung dengan kata-kata Bella.

“Kamu bilang aku wanita sempurna. Cantik, sukses dan baik. Tapi kenapa sampai sekarang kamu tak pernah bisa mencintaiku? Kenapa Ben?”

Pertanyaan Bella benar-benar menohokku. Apa pula maksud perkataannya ini.

“Asal kamu tahu Ben aku menyukaimu sejak dulu.Sejak kita baru merasakan indahnya cinta pertama. Tapi sepertinya rasa cintaku memang harus aku nikmati sendiri. Pernikahanmu dua tahun lalu semakin meyakinkanku bahwa kamu tak pernah mencintaiku.”

Wajah Bella tampak memerah, air matanya turun satu-satu membasahi pipinya yang putih.

Aku terdiam mendengar pernyataannya. Aku benar-benar terkejut. Selama ini aku tak pernah menyangka kalau sahabatku sendiri diam-diam mencintaiku.

“Karena inilah yang membuat aku sulit jatuh cinta dengan orang lain Ben. Kamu sudah terlalu lama ada di hatiku.”

Mendengar perkataannya, tiba-tiba kepalaku pusing. Memoriku tentang persahabatan kami berdua mulai menyeruak kembali. Bercampur dengan wajah ayu istriku dan Nayla, anak perempuanku. Maaf Bella aku tak bisa mencintaimu.

Setelah mengakui perasaannya, Bella meninggalkanku seorang diri. Pengunjung kafe mulai sepi dan aku masih tak percaya dengan perkataan Bella malam ini.

Setelah kejadian tersebut, aku benar-benar putus hubungan dengan Bella. Tanpa sms, telephone atau mengobrol sejenak di kantor. Kabarnya, Bella mendapat tugas untuk menjadi pimpinan di kantor cabang yang terletak di luar Jawa. Aku benar-benar kehilangan sahabat terbaikku.

Setahun berlalu setelah peristiwa itu. Pagi ini aku menemani Nayla berenang, tiba-tiba ada seseorang menepuk pundakku dari belakang.

“Masih ingat aku Ben?”

Seorang wanita dengan senyuman khasnya berdiri tepat di depanku. Dia menggandeng seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun.

“Bella?”

Aku benar-benar pangling dengan penampilannya sekarang. Kali ini dia berpenampilan seperti ibu muda karena perutnya yang mulai membuncit. Dia hamil.

“Mana suamimu?” Tanyaku penasaran.

Bella menunjuk seorang lelaki yang sedang duduk-duduk di pinggir kolam bersama seorang anak perempuan. Laki-laki itu tampak sudah berumur, sepertinya sepuluh tahun lebih tua dari usiaku.

“Dia Duda” Bisik Bella tepat di telingaku.

“Kok bisa kamu memilih menikah dengannya?” Tanyaku yang kembali penasaran dengan tingkah laku Bella.

Bella tersenyum kecil mendengar pertanyaanku.

“Karena ia bernama Beni, sama seperti namamu. Setidaknya di surat nikahku tercetak nama Beni, cinta pertamaku.”

Mendengar perkataan Bella membuatku tak bisa berkata apa-apa. Sepertinya aku harus pergi sekarang juga.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun