Perjalanan itu begitu diam. Hanya gesekan kereta, derap si rusa, dan angin.
Dua hari ia belajar mengendarai kereta dan kini, meski kecepatannya setara dengan berjalan kaki, ia bisa menghemat lemaknya untuk tidak terbakar lebih banyak.
Rusanya, rusa yang sangat sabar. Ia tidak terlalu tua. Mungkin ia sedikit paham kalau gadis yang dibawanya awam pada dunia ini. Sesekali ia berhenti, tak mau laju, seakan memberi tahu apa yang ia cemaskan. Kemudian gadis itu belajar, jejak pemangsa ada di depan. Meski merasa seram, gadis itu berhasil meyakinkan si rusa untuk terus maju. Rusa yang sabar hanya membutuhkan itu: kepastian. Begitulah ia menghormati penumpangnya dan begitulah mereka berbicara.
Sebelum gelap lebih gelap, mereka berhasil tiba di camp pertama. Setumpuk batang kayu ada di sana, siap dijadikan tenda. Meski susah payah, gadis itu berhasil mendirikan kemahnya. Namun, dingin yang menusuk mengganggu malamnya meski api unggun dinyalakan dalam kemah.
Keesokannya mereka kembali dalam perjalanan yang diam. Waktunya hanya lima jam untuk mencapai kemah kedua, kemah terakhirnya. Semakin jauh, semakin tinggi saljunya menumpuk. Kadang sudah sepinggang. Pohon-pohon juga semakin jarang. Daun-daunnya terperangkap embun beku. Seperti negeri dongeng. Namun, ini memang negeri dongeng, jika bukan mimpi.
Akhirnya perjalanan sulit menembus salju tamat setelah mereka tiba di hamparan luas yang datar. Danau beku atau sungai beku. Semacam itulah. Sekali lagi gadis itu mendirikan kemah yang sudah disediakan di sana. Orang jarang ke sini, tetapi selalu ada. Para peziarah. Para pencari Jalasurgha. Kayu-kayu dan penanda selalu ada sebagai penunjuk.
Dengan cemas gadis itu menatap. Namun, awan tebal mengungkung langit. Padahal, dari tadi ia sudah membekap kotak kecil, siap membuka. Namun, jika langit tak terbuka, apa gunanya? Pesan yang diembannya hanya boleh membuka kotak itu jika langit dan Jalasurgha terbentang.
Ia menunggu-nunggu. Kadang sambil berbicara dengan si rusa. Kadang hanya memeluknya seperti memeluk teman lama. Langit masih tak terbuka. Pelan-pelan, bersama angin, awan digiring pergi. Bintang mulai menandai langit.
Si gadis tersenyum. Semoga bisa. Semoga. Ia terus berharap-harap. Sesekali mengobrol lagi dengan rusanya. Dalam cerita yang panjang itu, yang entah memakan waktu berapa lama, ia kemudian melihat cahaya di ujung langit. Jalasurgha, bisiknya pada hati. Ia menyambar kotak yang tadi diletakkan di dalam kemah. Ia menunggu-nunggu. Jalasurgha pelan mendekat dengan gerakan menari-nari, membangun jembatan organik di langit.
Tarian yang awalnya terasa sunyi, kini penuh gairah. Jalasurgha membentang kehijauan. Jembatannya telah terhampar berkilo-kilo.
Gadis itu membuka kotak yang ia bawa, kotak kecil dari kayu, tanpa hiasan.
"Suam, kita sudah sampai. Jalasurgha sudah terbentang untukmu." Ia diam sejenak, hampir menangis. "Kau tahu, aku rela seribu kali mengantarmu ke sini. Kau ... dan taman surgamu. Kau sungguh pintar memilih tempat berpisah." Ia diam sedikit lebih lama, kemudian berkata dengan pelan, "Selamat jalan."
Kotak itu dimiringkan. Abunya dibawa angin yang mengawal Jalasurgha.
Gadis itu tersenyum. "Aku masih mencintaimu." Sebutir air matanya yang jatuh, membeku di pipi. Jalasurgha masih menari, membentangkan jembatan yang mirip tarian naga.