Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Bait-bait Kehidupan di Atas Roda Ambulan

2 November 2011   08:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:09 207 0

“Setiap Jenazah yang kita angkat adalah nasehat untuk kita…”

Ucapan itu terlontar dari Dedi, yang telah bekerja 2 tahun sebagai satu dari sekian sopir mobil Ambulan yang bekerja di RSUAM. Entah sudah berapa banyak airmata yang mereka saksikan, juga sudah berapa banyak kematian yang mereka hantarkan, hingga menyaksikan mayat dalam bentuk yang tak karuan. Namun hal-hal tersebut tak mematahkan semangat mereka untuk terus bertarung diatas roda kematian.

L angit yang memayungi Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek Bandar Lampung hari Jumat (20/10) ini kian mendung. Untungnya, jam setengah sembilan pagi hari, hujan belum bersemangat untuk turun ke bumi sehingga penulis dapat menemui narasumber tanpa hambatan berarti.

Plang hijau penunjuk arah langsung terlihat bagi siapapun yang masuk ke RSUAM lewat pintu utama. Tidak jauh dari sana, di paling pojok arah selatan Abdoel Moelok, berdiri sebuah bangunan yang terpampang tulisan besar di depannya : KAMBOJA. Dan dibawahnya lagi terdapat tulisan : Instalasi Kamar Jenazah. Tepat di depan bangunan tersebut terdapat beberapa mobil Ambulan.

Semakin mendekat kesana, perasaan merinding lansung menyerebak. Namun kehadiran 5 sampai 6 lelaki paruh baya yang sedang duduk-duduk disana telah sedikit memberikan rasa aman. Ternyata sebagian besar dari bapak-bapak tersebut adalah sopir ambulan yang sedang stand by menunggu panggilan dari kantor 118 yang berada dekat pelataran parkir Abdoel Moelok. Pelan tapi pasti, penulis berusaha bergabung ke hadapan bapak-bapak itu, dan melibatkan diri dalam obrolan mereka.

Petugas Ambulan dibagi dalam dua macam, yakni ambulan pasien dan ambulan jenazah. Ada pula yang merangkap kedua-duanya. Biasanya, dalam bertugas, sopir ditemani oleh navigator atau yang lebih dikenal dengan istilah kenek. Ada sekitar 14 orang karyawan serta 9 ambulan yang siap sedia di RSUAM tersebut. Roni, Sarjudin, Samsani, Edi, dan Dedi yang sedari tadi mengobrol merupakan sopir dan kenek di lembaga kesehatan pemerintah tersebut. Mereka semua bukan karyawan tetap, melainkan hanya karyawan honorer. Bahkan ada, senior mereka, yang sudah lama bekerja tapi masih berstatus tenaga sukarela. Mereka bekerja secara bergantian, ada yang shift malam dan siang.

Meskipun begitu, mereka semua hari ini nampak larut dalam guyonan di kala senggang. Seorang bapak bertubuh gemuk, berkacamata dan berkulit albino yang baru muncul beberapa jam kemudian, ikut nimbrung dalam obrolan tersebut.

“ Awalnya saya kesini dari teman yang ngajak kerja. Pertama-tama jadi teknisi mobil Ambulan, lama-lama malah ngikut bawa ambulan. Kalo dari awal tahu begini aku gak bakal mau. Hahaha.” Ujar Rino, si lelaki berkulit putih berbaju batik, sambil tertawa.

Kemudian Dedi yang berbaju hitam garis-garis putih, celana hitam serta sepatu olahraga putih menambahkan,

“Kadang-kadang saudara dan keluarga saya juga nanya, kok mau sih kerja begituan, apa gak takut? Yah, namanya profesi, yah kita sudah terbiasa! Dulu bahkan saya pernah ngangkut mayat yang sudah 4 hari meninggal baru ketemu. Badan mayat itu dari yang tadinya kurus, jadi menggelembung sebesar sapi. Baauu banget! Saya udah pake masker, masih aja kecium baunya. Mana jalanannya macet. Ugh!! Sampai hampir muntah-muntah!” Ujarnya sambil mengekspresikan mimik wajah jijik.

Tiba-tiba bapak berkulit albino tadi menyeletuk sambil tersenyum, “Kalau saya sih memang seneng ngeliat yang kayak kemarin itu. Mayat bekas ketumbur kereta yang lagi berdarah-darah, lehernya putus, trus dijahit… Entah kenapa, seneng aja...”

Lalu yang lain terdiam.

***

Pengguna jasa ambulan juga terdiri dari dua macam; pasien dan ‘plus’. Biasanya pasien yang memakai ambulan adalah pasiens yang menelpon mendadak dari rumahnya. Tapi yang seperti ini frekuensinya lebih kecil, dibandingkan pasien yang pulang paksa dari rumah sakit ke rumahnya. Baik karena vonis dokter bahwa sang pasien tidak akan ada harapan hidup lagi maupun ketidaksanggupan keluarga pasien untuk menanggung biaya rumah sakit. Tiap keluarga pasien tentunya memiliki alasan yang berbeda. Sedangkan ‘plus’ adalah istilah yang mereka biasa gunakan untuk menyebut pasien yang telah meninggal.

Saat mereka sedang membicarakan masalah gangguan teknis pada lampu depan salah satu mobil Ambulan, ketika itulah handphone Dedi berbunyi. Ia pun membaca sms di handphonenya.

“Heh, malaikat maut sms, ada pasien tuh. Mau pulang paksa, sebentar lagi.” Teriaknya agar didengar teman-teman di sekelilingnya. Malaikat maut yang dimaksudkan adalah operator yang menerima panggilan 118.

Edi, pria berkulit hitam yang merupakan kenek ambulan itupun bergegas ke ruangan pasien untuk memastikan keadaan. Sedangkan Dedi dengan sigap mengeluarkan salah satu ambulan dan memindahkannya agar pasien nanti mudah diangkat dari kereta dorong.

Tak lama kemudian, dari arah jam 2, terlihat Edi kembali berjalan menyusuri lorong hendak mendekati kami.

“Udah plus itu barusan…” kata Edi dari kejauhan.

“HAH? PLUS?!” ucap Dedi sedikit memekik.

Sang pasien akhirnya harus meninggal sebelum diantar pulang.

Dret.. dreet.. Suara kereta dorong terdengar. Seorang anak lak-laki dan perempuan mendorong kereta pasien yang diatasnya telah terbaring jasad yang telah terbungkus kain bercorak batik. Dibelakangnya, lima orang sanak saudara dari jenazah tersebut mengikuti. Sementara para petugas ambulan memindahkan jasadnya dari kereta ke dalam ambulan, salah seorang dari kerabat jenazah, wanita berbaju hijau, berurai air mata.

Pukul 11.30, ambulan yang ditumpangi saya sebagai penulis, Dedi (39) sebagai sopir, Edi (47) sebagai kenek atau navigator, 3 kerabat jenazah, dan tentunya jenazah itu sendiri, berangkat dari RSUAM menuju Sukaraja, tepatnya di Gudang Kaleng. Saya dan Edi duduk disamping Dedi. Kemudian Edi mulai menyalakan Warning Light Circuit Divider sebagai sirine dari ambulan. Sesekali masih terdengar isakan dari kerabat yang duduk di bagian belakang. Salah seorang kerabat yang berada di ambulan menghubungi sanak-saudara yang lain melalui handphone.

“Mas, mas Bowo wis ninggal…” ucap wanita itu lirih.

Mulai dari lampu merah pertama yang kami temui, penulis mulai merasakan sensasi hak-hak istmewa ambulan untuk pertama kali. Meskipun traffic light menunjukkan warna merah, tapi ambulan tetap melaju. Terkadang berakibat pengguna jalan yang hendak kebut tarik rem mendadak. Sirine yang begitu kencang membuat hampir semua orang yang kami lewati menatap kearah kami, ada yang sampai menunjuk-nunjuk ke sumber pusat suara. Meskipun Dedi hanya membawa ambulan dengan kecepatan 40-60 per jam, tetapi dia nyalib semua kendaraan yang menghalangi laju ambulan. Dedi bahkan tak ditilang saat Polisi lalu lintas mengetahui kami tidak memakai safety belt. Kerabat jenazah yang tadinya fokus memegangi jenazah, sekarang malah sibuk memegangi diri mereka sendiri, menahan guncangan hebat Panther berplat merah BE 9202 AZ tersebut. Selama perjalanan, mimik wajah kedua petugas ambulan tak menunjukkan hal yang berbeda. Pengalamannya selama bertahun-tahun telah membiasakannya melihat keadaan seperti ini. Hingga akhirnya ambulan pun sampai di kediaman almarhum.

Sirine ambulan pun dihentikan. Tanda bahwa tak ada pasien maupun plus didalamnya. Ambulan lalu bergerak pulang, kali ini tanpa ngebut-ngebutan.

***

Sepulangnya dari Jum’atan, kami kembali mengobrol di depan ruang Kamboja ditemani hujan yang cukup deras. Hawa dingin membuat Dedi, bapak dari empat orang anak ini, kemudian menghangatkan diri dengan menyalakan rokok Sampoernanya.Dari dalam ruang kamboja, seorang karyawan wanita bernama Nurbaety keluar mengantar secangkir kopi untuk mas Dedi.

“Dulu, saya ini sempat mendaftar Polri. Tadinya itu cita-cita saya. Tapi toh kalau kemudian saya jadi sopir ambulan, yah saya harus jalani sebagai bagian dari ibadah.” Ucap Dedi, yang juga bertempat tinggal di Teuku Umar, seraya menyeruput kopinya ditengah-tengah hujan.

“Sebenarnya kalau melihat kerabat jenazah bersedih, saya jadi selalu ingat keluarga di rumah. Saya selalu membayangkan bagaimana kalau hal yang sama menimpa saya.” Edi menambahkan. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam kemudian menghembuskannya. “Fuhhh….” Tatapan mata Edi menerawang jauh.

Dedi gantian berujar lagi, “Saya merasa, setiap jenazah yang saya angkat adalah nasehat untuk diri saya sendiri. Mereka yang telah mati seakan berpesan bahwa manusia ini tidak akan hidup selama-lamanya. Maka makin mendekatlah kepada Sang Pencipta, Allah SWT…”

Langit mendadak kembali cerah. Sinar mentari mulai merangsek masuk pada celah-celah awan. Air hujan pun kini sedang meresap ke tanah. Seolah mengajarkan, semua yang berasal dari tanah, akan kembali ke tanah..

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun