Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Ruh Islam dalam Nyawa Kenegaraan

21 April 2014   23:17 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:22 57 0
DALAM kacamata kelompok besar Islam di Indonesia, dalam hal ini Nahdlatul Ulama, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Saya rasa, hal tersebut tidak hanya dikultuskan oleh kelompok Islam saja, melainkan juga di pegang teguh oleh seluruh rakyat di Indonesia. Sebagaimana paparan Steven Grosby dalam bukunya Sejarah Nasionalisme, dia mengatakan bahwa spirit Nasionalisme itu merupakan ingatan yang “membatu” dan dibagi-bagikan di antara masing-masing dari banyak individu  yang merupakan anggota sebuah bangsa mengenai masa lalu yang sama dan hampir utopis untuk mengubah tatanan landasan negara yang sudah dibentuk sebelumnya. Sehingga,saya berkeyakinan eksistensi UUD 1945 dan Pancasila di masa depan akan tetap di pertahankan mengingat perjuangan dan tumpah darah para pahlawan terdahulu.  Terkecuali, negara kita melalui serangkaian Revolusi yang pada akhirnya mengubah tatanan pemerintahan secara mengakar. Revolusi yang saya maksudkan disini harus menyangkut perubahan yang sangat fundamental,menyeluruh dan bersifat multidimensional. Disini, seluruh sendi politik, hukum, ekonomi digantikan secara radikal.

Kemudian, jika berkaca pada sejarah, salah satu perumus Pancasila sebagai asas negara Indonesia adalah KH Wahid Hasyim, Ketua Umum PBNU pada masa perjuangan bangsa lepas dari penjajahan yang tak lain adalah ayah Gus Dur. Harus kita pahami bahwa kala itu, Wahid Hasyim berperan besar menengahi dua pemikiran besar kaum nasionalis dan kelompok agama Islam yang memperseterukan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dikemudian hari bermetamorfosa menjadi Pancasila.

Menurut Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) KH Masdar Farid Masudi, penerimaan ini merupakan pilihan by design, bukan pilihan by accident. Oleh NU, Pancasila dan UUD 1945 dijadikan sebagai jembatan antara kenegaraan dan ke-Islaman. Dimana kedua perangkat landasan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia itu dipandang sebagai aktualisasi nilai-nilai ajaran Islam yang dirumuskan para pendiri bangsa dengan mempertimbangkan akidah, hukum, dan akhlak Islam.

Pada umumnya pemikir besar Islam di Indonesia seperti Nurcholish Madjid menganggap Pancasila dan UUD 1945 sudah islami secara konseptual. Di sana ada tujuan keadilan dan ada manhaj atau strategi mencapai keadilan, (contohnya) pada sila keempat. Sehingga Cak Nun beranggapan bahwa dalam perumusan landasan dan falsafah negara pada waktu itu, untuk menjembatani silang pendapat antar kaum nasionalis dan agamawan yang mempersoalkan bentuk dan model negara maka sudah sangat bijak jika kita berjuang dalam konteks memasukkan nilai-nilai keislaman kedalam perundang-undangan. Jadi, bukan model negara lagi yang kita duduk persoalkan,tetapi bagaimana caranya agar ruh islam ditiupkan masuk kedalam nyawa peraturan kenegaraan sehingga masyarakat pada umumnya lebih mengenal tentang kebenaran islam secara menyeluruh. Sebab disamping pluralitas keagamaan, yang jadi permasalahan pokok di Indonesia kenapa agak sulit untuk membangun republik islam tidak lain karena masih begitu banyak masyarakat yang masih awam terhadap risalah yang dibawa oleh Islam.

Kemudian dalam kehidupan bernegara, saya beranggapan bahwa Islam itu sebagai ruh, esensi, dan nilai universal yang mengarah kepada tuntunan berkehidupan secara komprehensif. Negara dengan berbagai sistem politik, sejarah, dan struktur kekuasaannya tidak menjadi krusial, sebab yang terpenting adalah esensi nilai Islam yang dikandungnya yang teraktual dalam kehidupan sehari-hari. "Kebernegaraan yang digarisbawahi Islam yang pertama adalah untuk menggelar keadilan bagi segenap rakyatnya. Yang kedua, strateginya harus dengan musyawarah, liberation," .

Menurut Rais Syuriah PBNU, Islam yang terkait dengan ajaran kehidupan masyarakat Indonesia lebih bersifat terbuka. Dalam hal ini, formalitas keislaman menjadi tidak begitu tendesius mengingat sejarah atau konteks perjuangan nasionalisme yang sudah di alami sebelumnya,  karena yang lebih penting adalah esensi dan aplikasi nilai-nilai keislaman ditengah-tengah realitas kebernegaraan yang amat sangat majemuk ini.

Maka dari pandangan itu yang kemudian diartikulasikan lebih tajam Oleh Gus Dur, Indonesia dengan Pancasila, lagi-lagi sama sekali tidak ada masalah dari perspektif Islam. Karena yang terpenting bukan merek negara, tapi substansinya.

Perspektif seperti ini, , tidak ada jarak yang berseberangan sama sekali dengan konsep NKRI yang tidak menyebut negara Islam secara frontal, meski semua landasan konstitusinya disebutkan dalam bahasa ke-Indonesia-an yang mengadopsi kultur lokal di dalamnya dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kebenaran islam. Sebagai pertanda bahwa negara kita adalah negara yang tidak sepenuhnya sekuleristik. Sebab,konstitusi atau peraturan kenegaraan kita diharapkan berasaskan keislaman (Wahid Hasyim:1945).

Sikap kebangsaan yang sejalan dengan ke-Islaman itu terkait erat dengan rumusan 'Pribumisasi Islam' . Salah satu contohnya bisa dilihat dalam kehidupan pesantren.

Saya melihat, Islam yang berkembang di pesantren umumnya adalah Islam yang direbumikan, disesuaikan dengan budaya setempat. Islam dihayati dalam pola kehidupan masyarakatnya, diungkapkan dalam bahasa masyarakat, dan diamalkan sesuai konteks tempat umat Islam itu berada, terutama berkaitan dengan amaliyah non-ritual. "Karena Islam sama sekali tidak mengingkari eksistensi kebudayaan, kebangsaan, maupun kesukuan umatnya. Ini digarisbawahi oleh Alquran, 'saya ciptakan kalian lelaki dan perempuan dan kami jadikan kalian bersuku/berbangsa," .

Makassar,13 Oktober 2012 (17.05)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun