Daniel dan Melinda menatap tingkah Hendri dari jauh. Keduanya diam saja, tidak mengganggu ulah Hendri. Daniel mulai bisa menangkap inti pembicaraan antara Donald dan Hendri tadi. Beberapa hari berikut Hendri selalu mengurung diri di dalam kamarnya. Melihat kesedihan Hendri, Melinda tak berani mengajaknya bicara.
Seminggu Hendri larut dalam kegundahan, kemudian ia tersadar pada rencananya. Ia mulai tenang dan bersikap seperti biasa layaknya sebelum kedatangan Donald. Malam itu ia berkata pada Melinda dan Daniel.
“ Besok aku ke Kuningan, ada yang ingin dipesan ?” tanya Hendri pada Daniel dan Melinda.
“ Nggak, nggak ada,” jawab Daniel. Melinda mengacungkan tangan seperti murid SD yang diabsen.
“ Jangan belanja banyak-banyak ! Dapurku sudah penuh.” Ucap Melinda, ia teringat besok sudah Jumat lagi. Hari Jumat Hendri selalu pulang sambil membawa banyak belanjaan. Dapurnya sudah mirip warung sembako. Segala jenis keperluan harian sudah lengkap dan berlebihan.
“ Tidak, aku tidak belanja, besok aku mau bawa Egi jalan-jalan.” Katanya. Melinda dan Daniel tidak bertanya lebih lanjut. Hendri memang sering membawa Egi jalan-jalan jika ke Kuningan.
Keesokan harinya pagi-pagi Hendri sudah berangkat ke rumah Papanya. Hendri tiba jam 8. Papanya sudah berangkat ke kantor bersama sopir. Hendri sarapan bersama Mamanya.
“ Kalau tak punya kegiatan, kenapa tidak bantu papa di dealer, Hen ?” tanya Mamanya.
“ Papa mungkin masih marah padaku, Ma. Tunggu marahnya hilang dulu.” Jawab Hendri.
“ Nggak bosan kamu seharian berada di tambak ?”
“ Aku… aku bantu-bantu,” jawab Hendri dengan perasaan segan.
“ Bantu apa? “
“ Bantu Melinda membelah ikan,” Ucap Hendri. Mamanya tertawa.
“ Kalau cari istri, carilah seperti Melinda, Hen. Dia sanggup bekerja apa saja demi suaminya. Dia benar-benar wanita yang baik,” kata mamanya. Hendri tersenyum.
“ Justru di dunia ini kayaknya cuma ada satu Melinda. Sudah tiada wanita seperti dia lagi. Makanya aku pengen membujang hingga tua,” kata Hendri entah bercanda atau serius. Mamanya cuma tertawa. “ Ma, aku pengen ajak Egi jalan-jalan.” tambah Hendri.
“ Egi masih tidur, Hen “ kata mamanya.
“ Nggak apa, kutunggu hingga dia bangun, “ Hendri mengambil koran dan membaca. Mamanya masuk ke dalam. Ketika Egi bangun, bu Bimantoro segera memandikan Egi dan mendandaninya, setelah itu mengajak Egi menemui Hendri.
“ Tuh, mau diajak jalan-jalan sama Om Hen. Nanti kamu dibelikan mainan, Gi,” kata bu Bimantoro sambil menyerahkan Egi pada Hendri.
“ Yuk, ikut Om jalan jalan, yuk, Gi.” Hendri menerima Egi dan membawanya ke mobil.
“ Kissbye sama nenek dulu,” kata Hendri mengajari Egi melambaikan tangan. bu Bimantoro membalas lambaian cucunya dan menutup pintu pagar.
Hendri membawa Egi masuk ke pasar tradisional membeli rimbang dan beberapa sayuran lain. Sepanjang jalan Hendri mengajari Egi memanggilnya Papa. Wajah Hendri dan Daniel agak mirip sehingga Egi yang baru belajar ngomong menuruti kata-kata Hendri.
“ Papa bawa Egi ke supermarket ya,” kata Hendri, Egi mengangguk-anggukkan kepala.
Hendri menuju pasar Swalayan yang sering dikunjungi bu Hendro. Ia menunggu di tempat parkir. Ketika melihat mobil bu Hendro masuk, ia menyembunyikan kepalanya agar tidak terlihat oleh bu Hendro. Setelah itu ia menunggu setengah jam lagi di dalam mobil. Barulah memasuki pasar swalayan itu.
“ Nah, sekarang kita masuk, Egi panggil Pa-Pa !” ajar Hendri.
“ Pa… pa !” Egi menirukan ucapan Hendri. Hendri melangkah memasuki pasar itu. Ia mengambil troli dan menaruh Egi di dalam troli, lalu mendorong troli sehingga Egi tertawa tergelak-gelak. Akhirnya ia melihat bu Hendro.
“ Hallo, ibu Jasmin,” sapa Hendri.
“ Hallo, pak Hendri. Ini anak bapak ?”
“ Ya. ”
“ Ih, gendutnya, mirip bapaknya !” puji bu Hendro sambil menowel pipi Egi.
“ Panggil : Tan…Te !” Hendri mengajari.
“ Tan…Te “ ucap Egi.
“ Ih, pintarnya, siapa namanya ?” tanya Bu Hendro pada Egi,
“ Jawab: E Gi “ ajar Hendri.
“ E Ji “ ucap Egi.
“ Wah, pintar sekali ! Yuk, tante gendong ?” Bu Hendro mengulurkan tangan untuk meraih Egi. Egi mengulurkan tangannya minta digendong. Bu Hendro langsung mengendong Egi.
“ Wah, sehat banget anak ini. Ikut Tante yuk.” Ajak Bu Hendro yang kelihatan sangat senang dengan anak kecil. Egi mengangguk. Bu Hendro tertawa kesenangan.
“ Ibu Jasmin apa tidak terganggu dengan anakku? ” tanya Hendri.
“ Tidak, aku sudah selesai berbelanja. Ikut ke rumah Tante, yuk ! Main-main di sana, di rumah Tante banyak boneka, bonekanya Kakak Patricia, mau Gi ?” tanya Bu Hendro dengan gembira. Egi mengangguk. Bu Hendro semakin senang. Hendri seakan-akan mau bersorak melihat perkembangan rencananya. Patricia, apakah itu sang pemegang surat wasiat pak Hendro ?
“ Pak Hendri, anak ini mau ikut aku. Singgah ke rumahku sebentar ya, pak ?” tanya bu Hendro,
“ Apa tidak mengganggu ibu ?” tanya Hendri pura pura segan.
“ Enggaklah. Lagian kamu dulu kan karyawan suamiku. Ayo singgah,” Ajak bu Hendro.
“ Sebentar ya bu, aku belanja dulu !” kata Hendri.
“ Ya, bapak belanja, biar Egi aku yang gendong. Aku tunggu di kasir.” Kata bu Hendro sangat antusias. Hendri tertawa. Rencananya berjalan mulus.
“ Baiklah, aku belanjanya dikit saja, bu,” ia mendorong trolynya, membeli susu Egi dan beberapa jenis barang lain, lalu menuju kasir. Ibu Hendro sudah selesai dihitung belanjaannya dan belanjaannya sedang dimasukkan ke dalam kantong plastik.
“ Dikit banget belanjanya hari ini, pak ? jangan buru-buru, nanti dimarahi istrimu. ” tegur Bu Hendro.
“ Anu bu, belanjaan lain masih banyak, cuma nyari susu anakku. Sayurannya tadi sudah kubeli di pasar tradisional.” Hendri memberi alasan, ia tak ingin membuat ibu Hendro curiga. Setelah dihitung belanjaannya ia segera mengikuti bu Hendro ke tempat parkir.
“ Sini, kudorong belanjaan ibu. Akh, Egi merepotkan Tante saja. Lihat, Tante sampai berkeringat !” kata Hendri berbasa-basi.
“ Nggaklah, ini bukan karena Egi, ini karena di sini tidak ada AC, ya, Gi.” Bu Hendro mengecup pipi Egi dengan gemas.
Sesampainya di mobil, Hendri membantu bu Hendro memasukkan belanjaan ke bagasi mobil. Ibu Hendro tak mau melepaskan Egi,
“ Egi ikut tante saja, ya. Papa Egi ikut di belakang kita…” kata bu Hendro pada Egi. Hendri manggut-manggut saja. Ia menjalankan Tarunanya mengikuti mobil bu Hendro dari belakang.
Ketika memasuki halaman rumah Bu Hendro, terlihat halaman yang luas dan penuh dengan tanaman. Rumah itu dipagari tinggi sehingga agak terisolir dari lingkungan warga lain. Suara bising jalan raya juga berkurang.
Bu Hendro keluar dari mobil dan menggendong Egi, Hendri dipersilahkan masuk. Rumah itu sangat mentereng. Di ruang tamu penuh dengan lukisan karya pelukis terkenal. Hendri mengagumi lukisan itu hingga mulut terbuka, ia sangat menyukai seni dan sastra semasa kuliah dulu.
“ Koleksi mantan suamiku,” kata Bu Hendro menjelaskan. “ Duduk ya pak Hendri, aku sangat senang kalau bertemu dengan anak kecil. Apalagi anak selincah Egi. Bapak sungguh beruntung punya anak seperti Egi.” Puji Bu Hendro. Hendri tersenyum, Bu Hendro masuk ke mana. Pembantu menyuguhkan minuman. Bu Hendro keluar bersama Egi, di tangan Egi memegang beberapa boneka yang sangat bagus tapi kelihatannya sudah lama.
“ Ibu tinggal sendirian ?” tanya Hendri.
“ Ya, aku sendirian.”
“ Di mana anak-anak ibu ?”
“ Anak aku cuma satu, dia tinggal di Los Angeles, kerja di sana.”
“ Lha, warisan pak Hendro kan banyak, Bu, kenapa anak ibu mesti kerja? Kasihan anak ibu harus kerja.” Kata Hendri seakan-akan bersimpati.
“ Sebahagian harta kami sudah disita pemerintah, Rumah ini tidak ikut disita karena atas nama adikku.” Bu Hendro menjelaskan.
“ Harta pak Hendro di luar negeri kan banyak, Bu,”
“ Ya, memang. Cuman, semua perusahaan itu sekarang di bawah kekuasaan wanita yang bernama Katlen. Tidak ada yang diserahkan pada anakku.” Ada sedikit nada kesal dalam suara bu Hendro.
“ Setahuku, wanita itu cuma mendapat surat kuasa, Bu. Asalkan ibu punya surat wasiat dari pak Hendro, Ibu bisa mengambil alih kekuasaan wanita itu.” Hendri memancing.
“ Itulah sayangnya. Aku tidak punya surat wasiat yang bapak maksud.”
“ Wanita itu juga tak punya.”
“ Kok bapak tahu ?” tanya ibu Hendro.
“ Kalau wanita itu punya surat wasiat pak Hendro, pasti semua saham perusahaan atas nama pak Hendro sudah dijual, atau dialih-namakan atas namanya. Tapi kelihatannya ia tak bisa melakukannya. Pasti terganjal masalah surat wasiat. Jadi ia hanya bisa menjadi pengelola perusahaan itu. Tapi ibu harus hati hati,” kata Hendri menakut-nakuti.
“ Kenapa ?”
“ Semua perusahaan yang dipegangnya itu tahun ini mencetak rugi.”
“ Benarkah ?” tanya Bu Hendro kaget.
“ Ya, istri aku kerja di Lembaga keuangan, jadi tahu semua berita keuangan dan perbankan di seluruh Dunia.” Jelas Hendri.
“ Oh…”
“ Ibu tidak takut ?”
“ Takut apa ?”
“ Jika perusahaan-perusahaan milik bapak dipegang oleh wanita itu dalam jangka waktu lama, sedikit demi sedikit wanita itu bisa memindahkan dana perusahaan yang dipegangnya untuk membentuk perusahan baru. Lama-kelamaan perusahaan milik pak Hendro bisa berpindah tangan jadi miliknya, walaupun tanpa surat wasiat.” Hendri sengaja membuat bu Hendro cemas.
“ Benarkah begitu ?”
“ Ya, tahun ini semua perusahaan milik pak Hendro di luar negeri mencetak rugi. Aku menduga itu karena pengalihan atau diselewengkan ke rekening pribadi nona Katlen, bukan benar benar rugi.” papar Hendri.
“ Kalau begitu, lama-kelamaan semua perusahaan perusahaan kami bisa berpindah tangan jadi miliknya?” Bu Hendro mulia terlihat gelisah.