Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Lamaran Tanpa Kata

7 Agustus 2010   02:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:15 55 0
Lalu lalang orang di sekeliling kita tidak merusak kehidmatan dunia kami. Dunia di mana kata tidak lagi terucap. Dunia di mana mulut tidak lagi berkata-kata. Dunia di mana mata dan hati kami yang berbicara.

Kami duduk berhadapan, mata saling bertatapan, di sebuah outdoor cafe di sebuah mal. Di sekeliling kami orang lewat, berbicara, mengobrol, memainkan handphone-nya, atau saling menikmati keberadaan pasangan dan orang yang dicintainya.

Sementara itu walaupun mulut kami diam, tapi mata kami terus berbicara dari waktu ke waktu.

"Aku cinta padamu," kata mataku.

"Aku juga," balas matamu.

"Semua orang memperhatikan kita," kata mataku lagi.

"Biar. Ini kan tempat umum. Orang boleh melakukan apa saja yang mereka suka," balas matamu lagi.

"Mau sampai kapan kita begini?" tanya mataku.

"Sampai kita puas," jawab matamu.

"Dan kapan kita akan puas?"

Matamu tidak menjawab, tapi mengedip manja. Mataku pun tersenyum. Untuk beberapa saat mata kami tidak berbicara tapi kami saling berusaha memahami kedalaman hati masing-masing.

"Kau tampak cantik hari ini," kata mataku lagi.

"Terima kasih," jawab matamu. Matamu berkedip beberapa kali.

"Kenapa?"

"Tidak apa. Cuma kelilipan."

Mata kami kembali diam. Sekarang giliran hati kami yang bicara. Menyamakan ritme detak jantung kami yang semakin tidak beraturan.

"Kau tegang?" tanya matamu.

"Sedikit," jawab mataku. "Mari kita selesaikan saja."

"Baiklah."

Aku melirik jam tanganku.

Sekarang tepat tujuh belas menit sejak mulutku selesai menunaikan tugasnya. Menyampaikan isi hatiku. Tepat tujuh belas menit sejak mata kita mengambil alih tugas mulut kita dan berbicara tanpa kata. Tepat tujuh belas menit sejak hatiku dan hatimu berdegup lebih cepat. Tepat tujuh belas menit sejak kita saling diam di tengah kerumunan manusia ini. Tepat tujuh belas menit sejak pelayan itu datang membawakan pesanan kita. Dua gelas teh manis panas. Dan tepat tujuh belas menit sejak kita membiarkan teh manis panas itu kehilangan panasnya dan menjadi dingin.

"Jadi?" akhirnya mulutku terbuka dan mengeluarkan satu kata yang mengakhiri tujuh belas menit tanpa kata ini.

"Ya," jawabmu.

Aku tersenyum. Kau pun tersenyum. Mata kita saling bersorak. Bertepuk tangan. Hati kita berteriak gembira.

Sekarang giliran tangan menunaikan tugasnya. Tanganku meraih kotak kecil yang ada di antara kita. Membuka tutupnya dan mengeluarkan isinya. Sebentuk cincin pertunangan. Dan tanganku meraih tanganmu yang mungil. Begitu lembut dan dingin.

Jari tanganmu, pelan tapi pasti, meluruskan dirinya. Tidak satu demi satu tapi bersamaan. Dan tanganku pun melakukan yang harus dilakukannya. Dia memasukkan cincin itu ke jari manis tangan kirimu.

"Indah sekali. Cocok," Begitu kata mataku sementara mulutku sudah tidak sanggup lagi menunaikan tugasnya.

"Iya," balas matamu.

Sementara itu mulut kita hanya mampu tersenyum, karena hanya itu yang bisa dilakukannya dengan tenaganya yang tersisa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun