Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Tuhan di Pinggir(kan)

8 Desember 2011   05:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:41 141 0

Tiap Petani mesti merendam tubuhnya ke dalam lumpur, demi datangnya panenan. Pedagang berkeliling ke sana kemari, demi lakunya jualan. Pemulung menyerahkan diri menyetubuhi bau-bau sampah, demi mendapat makan sehari. Penganggur pontang-panting masuk keluar instansi, demi sebuah pekerjaan.  Para Ibu bersusah-payah mengandung janin 9 bulan, demi lahir pribadi yang sehat-selamat. Bahkan burung-burung sekalipun, tiada lelah mengepak sayap mencari pohon berteduh.

Demikianlah laku kehidupan. Pilihan hidup macam manapun niscaya mengharuskan perjuangan: ada derita dan keringat, peluh dan lelah. Dan persis pada sisi inilah, insan sadar akan batas kemampuannya. Pengalaman susah duka, keluh kesah, letih perih, jatuh rubuh, gagal terpental, tangis meringis sakit, hingga rangkaian kehilangan, semuanya membuka sadar manusia bahwa hidup tak sepenuhnya berada dalam kendali diri, banyak hal terjadi di luar kehendak sendiri dan karena itu, manusia tiada sanggup berjuang seorang diri.

Maka, ramai-ramailah orang mencari Tuhan, mendaraskan doa dan permohonan, menciptakan berderet-deret ‘mau’: mau sukses, mau kaya, mau punya rumah bagus, mau punya jodoh terbaik, mau gaji besar, mau kerjaan yang lebih mapan, mau pangkat yang lebih tinggi, mau ke luar negeri, mau ini dan itu… Sampai di sini, baiklah insan bertanya: Sebenarnya, siapa yang Tuhan? Bukankah dengan deretan ‘mau’ itu, manusia menjadikan dirinya ‘tuan’ dan Tuhan hanyalah ‘hamba-pesuruh’ yang dipaksa memenuhi rupa-rupa kepentingan insan? Pada sisi sembunyiNya, Tuhan barangkali mengharap insan sempat mendengar tanya sederhanaNya ini: “… lalu apa yang sudah kau buat untuk Aku?”

Masyarakat modern menjelma sebagai masyarakat instan, yang selalu ingin mendapatkan apa yang diinginkan dengan cepat, enak dan murah. Jargon mereka: “Kalau bisa mudah, kenapa harus cari yang susah!” Proses makin kurang mendapat tempat, jatuh sebisa mungkin dihindari, tangan tak harus meraba tanah, lidah tak harus mengecap pahit, badan tak mesti bermandi peluh, pendakian tak harus dilalui untuk berada di puncak.

Tanpa sadar, kultur instan seperti ini memengaruhi gambaran insan tentang Tuhannya. Kalau bisa, Tuhan jadilah ‘swalayan’, menyediakan semua yang diinginkan, tinggal saja memilih dan mengambil sesuai selera. Kalau bisa, Tuhan jadilah ‘google’, mesin pencari dan penemu apa saja yang dibutuhkan, dalam waktu singkat, dengan harga yang murah. Kalau bisa, Tuhan jadilah ‘putaw’, sanggup melarikan manusia dari rasa sakit dan beban-beban yang memberatkan. Kalau bisa, Tuhan punya ‘kantong ajaib’ Dora Emon, penyedia berbagai perangkat yang memudahkan segala sesuatu. Kalau bisa, Tuhan begini dan begitu…

Barangkali begitulah cara Tuhan diperlakukan. Tuhan ada sejauh insan memerlukan-membutuhkan. Tuhan ada sejauh insan bermasalah-berkesulitan. Tuhan ada sejauh mau-ingin manusia. Tuhan ada sejauh manusia menghendakinya ada. Tuhan benar-benar menjadi orang pinggir, karena insan menaruhNya pada margin bingkai kehidupannya. Tuhan benar-benar dipinggirkan, sedemikian marginalnya karena Tuhan baru di tarik ke tengah, hanya saat manusia didesak susah-derita. Tuhan benar-benar ‘orang luar’, tersudutkan ke bagian tepi, tak harus selalu dikenal dan diperhitungkan. NamaNya baru riuh-ramai disebut pada musim-musim tertentu saja.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun