Mohon tunggu...
KOMENTAR
Book Pilihan

Singgih Nugroho: Di Antara Persimpangan dan Keabadian Luka

28 Oktober 2024   11:30 Diperbarui: 28 Oktober 2024   11:31 205 2
Di balik karya yang hening, ada kesedihan yang tak terucap. Mungkin begitu cara terbaik untuk menggambarkan Singgih Nugroho, seorang aktivis cum penulis yang dengan tenang dan gigih, menapaki sejarah yang telah lama disembunyikan. Kita mengenangnya melalui karya buku, "Menyintas dan Menyeberang: Perpindahan Massal Keagamaan Pasca 1965 di Pedesaan Jawa", sebagai sebuah upayanya menggali masa lalu yang penuh duka, dengan menghadirkan suara-suara yang terlupakan---seperti bisik yang samar di tengah hiruk-pikuk sejarah besar bangsa ini.

Singgih menulis seolah-olah dengan pena yang direndam dalam genangan luka kolektif. Buku ini bukan hanya sebuah kronik peristiwa, tetapi juga upaya menangkap gejolak batin orang-orang yang terjepit di antara kenyataan politik yang keras dan harapan untuk bertahan hidup. Di Jawa Tengah, di desa-desa yang dulu teduh, kehidupan berubah menjadi penuh kecemasan setelah gelombang besar peristiwa 1965. Ketika pemerintah melabeli orang-orang yang dicurigai terkait PKI dengan stigma, jalan yang paling mungkin ditempuh oleh mereka yang ingin menyelamatkan diri adalah "menyeberang"---dalam hal ini, pindah keyakinan.

Dalam buku ini, Singgih tidak sekadar mencatat angka atau mengutip berita lama. Ia menukik ke dalam pengalaman pribadi, menjelajahi ruang-ruang sempit yang dihuni ketakutan, pengkhianatan, dan keputusasaan. Di Dieng, di lereng Gunung Slamet, dan  pinggiran Salatiga di antara bayangan pepohonan, narasi perpindahan keyakinan menjadi cara untuk selamat dari tuduhan, dari represi, dari ancaman yang tak pernah jelas asalnya. Perpindahan agama ini, bagi para pelaku sejarah yang diwawancarai oleh Singgih, bukanlah pilihan yang mudah, tetapi seperti titian yang harus dilalui demi hidup yang terus bergerak.

Buku ini membawa kita pada babak yang sulit dalam perjalanan bangsa ini. Di sana, perpindahan agama menjadi simbol perlawanan terhadap keterancaman yang tiada henti. Tapi di sisi lain, Singgih juga menangkap bagaimana pilihan ini mempengaruhi struktur sosial di pedesaan, memecah hubungan komunitas yang semula berakar kuat pada tradisi. Bagi Singgih, perpindahan ini tidak hanya soal menyelamatkan tubuh, tapi juga soal pergulatan untuk mempertahankan jiwa dari stigma yang melekat terlalu dalam.

Narasi yang disusun Singgih adalah narasi yang hangat, tetapi penuh kesedihan. Ia tidak memaksakan kita untuk memilih siapa yang benar atau salah, ia hanya mengajak kita untuk melihat bagaimana sebuah trauma kolektif dapat mendorong manusia pada keputusan-keputusan yang getir. Ketika perlawanan atas stigma tidak lagi mungkin, berpindah agama menjadi pilihan yang tragis, tetapi barangkali satu-satunya yang tersisa.

Kini, ketika penulisnya telah berpulang, karya ini akan tetap hidup sebagai pengingat akan sisi lain sejarah yang jarang terungkap. Singgih, melalui buku ini, telah membuka pintu menuju ruang yang lama terkunci rapat. Ia memahat suara-suara mereka yang "menyeberang" dalam sejarah yang tak pernah sungguh-sungguh selesai. Kita mungkin akan selalu bertanya, sejauh mana sejarah dapat menuntut manusia untuk menanggalkan keyakinan dan identitasnya demi keselamatan?

Bung Singgih Nugroho telah pergi, tetapi karyanya takkan hilang. Ia telah mengabadikan kisah-kisah yang tak berani terkatakan, dalam sebuah prosa yang lirih tetapi penuh makna. Dalam setiap kalimatnya, ia mengajak kita merenung, memahami, dan menerima bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang hitam-putih. Di dalamnya, ada manusia yang memilih untuk bertahan, meski harus kehilangan sebagian dari dirinya.

Selamat jalan, Bung. Kau telah menyeberang, tetapi kisahmu akan tetap menyintas. Innalillahi wa' inna ilaihi rojiun, saya bersaksi sampeyan orang baik. husnul khotimah.....al fatihah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun