Tapi, apa yang tak diduganya adalah sebuah amplop yang datang dari seorang bernama William Minor (Sean Penn). Ribuan kontribusi kutipan yang presisi dan tajam, datang dari balik jeruji Broadmoor Criminal Lunatic Asylum, tempat Minor menjalani hukuman karena membunuh seorang pria dalam kondisi delusi. Minor bukan seorang ahli bahasa; ia seorang mantan tentara yang terseret dalam trauma peperangan, berjuang melawan kegelapan di dalam dirinya. Lalu, bagaimana bisa dua dunia yang saling berjauhan ini bertemu dalam proyek yang monumental?
Menggali Makna Kegilaan dan Pengetahuan
Film ini bukan hanya kisah tentang penciptaan sebuah kamus. Ini adalah tentang mencari makna di antara kegilaan, menyelami bagaimana sebuah jiwa yang terjebak dalam kegelapan tetap memiliki sesuatu yang berharga untuk ditawarkan pada dunia. Persis seperti yang dteorikan Freud tentang kegilaan. Minor, dalam ketakutan dan rasa bersalahnya, menemukan semacam keheningan dan tumpuan dalam buku-buku. Buku bukan sekadar benda mati, tetapi jendela dunia yang menawarkan peluang untuk sembuh, bahkan bagi mereka yang terluka paling dalam.
Di sini, pertemuan antara Minor dan Murray seolah menjadi simbol dari pertemuan antara dua dunia yang bertolak belakang---kebijaksanaan dan kegilaan. Seperti menulis ulang catatan harian kehidupan, Minor mengirimkan lebih dari 10.000 kutipan yang melampaui waktu, ruang, dan batas kegilaan.
Dramatisasi dan Karya Sinematik
Diadaptasi dari buku The Surgeon of Crowthorne karya Simon Winchester, film ini dengan licin menjejalkan elemen dramatisasi, salah satunya adalah hubungan asmara Minor dengan Eliza Merrett, janda dari pria yang ia bunuh. Kisah cinta yang tidak lepas dari rasa bersalah ini menghadirkan kehangatan sekaligus ironi yang menegaskan dilema moral yang harus dihadapi Minor. Begitu pula penggambaran Murray yang gigih menentang stigma, menunjukkan sikap progresif yang masih relevan hingga kini.
Mel Gibson dan Sean Penn memerankan kedua karakter ini dengan kedalaman yang terasa nyata. Sean Penn, dengan aktingnya yang menawan, membuat kita bertanya: Apakah kegilaan itu sebenarnya lebih dekat pada kita daripada yang kita kira? Bukankah ada sesuatu yang tersembunyi di balik ketakutan dan delusi, semacam kejeniusan yang justru muncul dari retakan-retakan realitas?
Mengapa Harus Menonton
Walau sudah beberapa kali diresensi di media termasuk di Kompasiana ini, setiap butuh OED saya selalu teringat film ini. Bagi saya film ini unik, karena perpaduan langka antara sejarah, psikologi, dan pencarian makna. The Professor and The Madman tidak hanya menawarkan tontonan, tetapi juga undangan untuk merenungkan betapa kuatnya kolaborasi lintas batas dalam menghasilkan sesuatu yang abadi. Di tengah kompleksitas narasinya, film ini mengingatkan bahwa kerja kolaboratif tidak selalu muncul dari tempat yang ideal, tetapi dari pengertian dan penerimaan terhadap yang lain.
Walau kadang terasa lamban, film ini memiliki kekuatan dalam narasi dan kualitas produksi. Bagi saya, di sinilah letak daya tarik film ini: ia memadukan unsur sejarah dengan cerita yang mengandung kelembutan sekaligus kekuatan.
Memang film ini tidak memenangkan penghargaan besar, namun penampilan Sean Penn mendapatkan banyak pujian. Ia berhasil memerankan Minor dengan kedalaman dan ketulusan yang menggetarkan. Dan meskipun tidak sempurna, The Professor and The Madman telah mendapatkan tempat di hati para penggemar sejarah dan biopik.
Pada akhirnya, The Professor and The Madman adalah tentang bagaimana dua orang dari dunia yang berbeda dapat bekerja sama dan menciptakan sesuatu yang besar. Kolaborasi antara Murray dan Minor bukan hanya simbol dari kerja keras, tetapi juga pelajaran tentang kebesaran hati manusia. Seperti sejarah yang sering kali dilupakan, kolaborasi ini mengajarkan kita bahwa di balik batasan sosial dan mental, selalu ada jalan menuju pencapaian besar.
Dan bukankah, di tengah dunia yang seringkali tidak ramah, kerja sama yang tak terduga adalah semacam cara untuk tetap waras?