Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Mereka yang Mulai Teriak Merdeka Bagian 5 Oleh Denny Ja

23 Januari 2025   17:38 Diperbarui: 23 Januari 2025   17:38 8 0
Mereka Yang Mulai Teriak Merdeka (5) DUA MATAHARI DI UFUK YANG BERBEDA - Tjokroaminoto dan Semaun - Oleh Denny JA Surabaya, 1934. Malam berbisik pilu. Di pendopo tua, dua pikiran beradu. Guru dan murid, bersimpang jalan, tak lagi satu. (1) -000- "Di pabrik gula, suara mesin lebih lantang dari doa. Di kebun, peluh bercampur derita. Di tambang, gelap menelan harapan. Enam belas jam per hari, mereka bekerja, tapi gaji hanya cukup, untuk membeli kematian yang pelan. Mereka berontak, karena itu satu-satunya pilihan. Gerakan kita terlalu pelan, terlalu damai. Kita perlu revolusi, walau darah tumpah." Suara ini terdengar sayup, dari pendopo. Angin malam meratap, membawa serpihan luka, Di kejauhan, kulihat dua bayangan berdiri tegak, dua bintang yang dulu seirama, kini retak. Tjokroaminoto dan Semaun, guru dan murid, dalam tatap yang asing. Berdebat, tembakkan puluhan kata. Jejak mereka terukir di pasir sejarah. Karena keyakinan, menjadi sungai yang berpisah. Aku hanya menunggu di luar. Berharap mereka akhirnya satu kata. -000- Kuingat, enam belas tahun silam, seorang pemuda mengetuk pintu sejarah, dengan mata nyala, penuh bara. "Semaun," ia memperkenalkan diri. "Ajari aku, Guru," pintanya. Ia api kecil mencari angin, berharap bara di dadanya menyala. Tjokro tersenyum, membawa Semaun ke dunia imajinasi: "Kata adalah pedang, orasi itu perisai." "Pemikiran adalah cahaya," bisik Sang Guru. "Tembuslah kegelapan tanpa kekerasan." "Belajar menata pesan. Jadikan ia benteng, bagi mereka yang tertindas, terhimpit." "Rangkai strategi dari ketenangan, bakar semangat tanpa memusnahkan diri." Semaun menyerap petuah guru. Ia tanah kering menyambut hujan. Di bawah naungan Tjokro, Semaun tumbuh, menjadi api yang berkobar, mencari langitnya sendiri, terbang bebas. -000- Namun, waktu mengubah segala. Mata Semaun tak lagi hanya melihat cahaya. Ia menyaksikan luka, penderitaan buruh, keringat yang jatuh tanpa harga. Ia membaca buku-buku dari tanah yang jauh. Petuah dan kata Karl Marx, Lenin, Leon Trotsky, mengalir menjadi bah lava, menghancurkan bendungan kesadaran. Di luar Sarekat Islam, ia melihat dunia yang keras, terpesona oleh revolusi. Perjuangan bukan doa, tapi palu yang memecahkan rantai. "Guru," bisiknya, dengan suara yang bergetar, "kita harus berubah, saatnya Sarekat Islam menyusuri jalan revolusi, meski kekerasan menjadi jalan." Tjokro terpana. Ia pohon tua yang menahan badai, merenung, tersentak, dalam diam yang panjang. Di matanya, terlihat bayangan masa lalu, dan masa depan yang tak pasti. Malam itu, Semaun menatap mata Sang Guru, bukan sebagai murid yang dulu, tapi sebagai api yang kini membakar liar. "Guru," ujarnya, dengan nada yang tegas, "dunia menuntut kita berlari, mengejar matahari yang sama, tapi dengan cara beda." -000- Berulang kali, Semaun gagal meyakinkan Guru, agar jalan mereka berubah, tapi tetap satu. Akhirnya, Semaun membuka pintu, melangkah keluar, ke dalam malam yang sunyi. "Selamat tinggal, Guru," bisiknya dalam hati. Ia anak yang meninggalkan rumah, mengejar mimpi di cakrawala yang lebih luas. Tjokro adalah pendopo tempat ia tumbuh, belajar tentang kehidupan dan arti merdeka. Namun, Semaun adalah burung yang harus terbang, meninggalkan sarang yang hangat, demi langit yang lebih memanggil. Sejarah mencatat, Sarekat Islam terbelah menjadi dua, menjadi sungai yang bercabang, mengalir ke lautan yang berbeda. Yang putih tetap di Tjokroaminoto, menjaga akar, sabar, dan kebijaksanaan. Yang merah di tangan Semaun, berlari ke arah revolusi, dengan semangat membara. -000- Tjokro terdiam di rumah tua. Setiap mengenang Semaun, sungai kesedihan mengalir di wajahnya. Namun di batinnya, terpancar kebijaksanaan seorang guru, "melepas yang kita sayangi," bisiknya, "adalah cinta yang tak lagi menuntun, membiarkan ia terbang, mencari jalannya sendiri." Dan malam itu, ketika ia membiarkan muridnya pergi, ia melepas sebagian hatinya. Matahari merelakan sinarnya, menerangi dunia yang lain. -000- Aku, kawan dekat Semaun, tapi aku bekerja untuk Tjokro. Kini aku terombang-ambing di antara dua dunia, menjadi biduk kecil tanpa kemudi, di tengah samudera kenangan, yang berombak gunung. Dua matahari kini terbit di ufuk berbeda. Aku menyaksikan panggilan api perjuangan, lebih besar dibandingkan kisah guru dan murid. *** Jakarta, 23 Januari 2025 CATATAN (1) Puisi esai ini dramatisasi perpecahan Serikat Islam, HOS Tjokroaminoto dan Semaun https://www.kompas.com/stori/read/2025/01/12/123000179/perpecahan-sarekat-islam

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun